Sabtu, 07 Juni 2014

Terima Kasih Ya Allah (Cerpen)

Cerpen 5 Juni 2014
Terima Kasih Ya Allah

Setelah beberapa tahun merantau di kota untuk menuntut ilmu, akhirnya Erfan Pulang kampung. Pengalaman  selama merantau, memberi warna tersendiri dalam hati. Dengan mengantongi ijazah sarjana, aku melangkah tegap menuju bus yang akan membawaku ke Bandar, sebuah “kota kecil” di pinggiran Kabupaten Batang.

Bus yang kutumpangi berjalan lambat keluar terminal. Tidak hanya sekali dua  kali bus berhenti untuk menaik-turunkan penumpang. Bahkan beberapa kali bus malah berjalan mundur, masuk ke jalan desa, menjemput penumpang yang hampir terlewat.

Sesampai di Pertigaan Wonotunggal langit gelap menyelimuti. Sesaat kemudian turun hujan. Kuedarkan pandang ke luar jendela bus yang kutumpangi. Lewat kaca bus yang buram, kulihat butiran mutiara itu berlomba turun menjejak ke bumi. Banyak rumah baru berdiri di sepanjang pundak jalan yang tidak seberapa luas.

Sesaat kemudian, tepat pukul 13.00 WIB, bus sampai di depan Pasar Bandar. Di kota kecil ini hanya terdapat terminal bus kecil sekaligus terminal colt angkutan pedesaan. Itu pun tak seluruh colt masuk ke terminal. Banyak di antaranya yang nge-tem di depan pasar sebelah barat, berbaur jadi satu dengan bus yang akan datang.

"Masih seperti dulu," gumamku membatin.
Ketika melihat sebuah colt jurusan Pekalongan berangkat. Ya, masih seperti dulu. Colt berangkat dengan penumpang yang berjejal sesak. Dari belakang yang terlihat jajaran orang bergelantungan rapat membentuk teralis menutupi bagian belakang mobil. Dan kalau belum mendapat penumpang yang rapat seperti itu, colt memang belum mau berangkat. Padahal itu sungguh membahayakan keselamatan penumpang.
Aku menarik napas untuk melonggarkan dadaku yang sesak. Berdesak dengan orang, barang belanjaan, dan ayam. Sudah tercium olehku keringat bercampur kubis busuk, kotoran  ayam, dan aroma parfum yang tajam menusuk. Seperti itulah kalau perjalanan kita lekas sampai, karena jumlah angkutan di sini sangat terbatas.

Colt jurusan kampung halamanku yang kutumpangi hampir penuh. Beruntung aku mendapat tempat duduk di depan, di ruang kemudi. Meski sesak juga, tapi tak separah seperti duduk di belakang. Lumayanlah. Tapi harap diingat, mendapat tempat duduk di ruang sopir, harus berani membayar lebih, karena lebih nyaman, maka ruang sopir ini banyak diperebutkan.

Calo sudah memintai ongkos para penumpang. Berarti colt sudah penuh dan siap berangkat. Aku bernapas lega.

Pak sopir masuk ruang kemudi, lalu menghidupkan mesin. Saat itu melintas sebuah bayangan yang sudah sangat kukenal, di depan colt. Aku masih mengingatnya dengan baik, itu adalah bayangan Faris, teman sekampung, teman masa kecil, teman sepermainanku dulu. Kalau ia mau pulang, kenapa tidak naik colt ini? Dorongan rasa kangen pada sahabat telah mengalahkan kepentinganku untuk cepat-cepat sampai di rumah.

"Sebentar, Pak Sopir," pintaku pada sopir yang sudah memasukan perseneling ke gigi satu. Lalu begitu saja aku turun dari mobil, mengejar Faris.

Terdengar teriakan sopir di belakang, "Cepat, Dik!"

Sekilas aku menoleh seraya melambaikan tangan menyuruhnya pergi. Pak sopir maklum, colt itu pun berangkat.
Aku berhasil mengejar Faris. Kujajari langkahnya.

"Mau kemana?" tanyaku.

Faris menoleh, tersenyum. Wajah dan bibirnya tampak pucat, tapi kakinya melangkah ke arah timur.

"Mestinya kamu bersama saya naik colt yang tadi. Kamu sudah tahu kan, selepas colt tadi belum tentu ada colt berikutnya yang bisa membawa kita pulang? Sudah siang begini tak ada lagi orang berpergian. Anak sekolah dan ibu-ibu yang belanja sudah pada pulang. Kita pertaruhkan pada nasib baik untuk bisa pulang hari ini."

Faris tak berkomentar. Kucoba menggandeng tangannya. Dingin. "Kamu sakit? Mau periksa? Okelah, aku menemanimu."

Melewati sebuah jembatan kecil, Faris belok ke kiri.

"Lho, kalau mau periksa ke tempat dr. Doddy, beloknya ke kanan, dong?!" protesku. Faris tak menanggapi protesku. Ia terus saja melangkah.

"Baiklah, kuikuti kamu," kataku, menyerah. "Seandainya nanti tidak mendapat colt pulang, toh ada kamu. Kita bisa pulang jalan kaki bersama.

Kami lewat di depan KUA. Ke utara sedikit, ada Mushola kecil di sisi barat jalan, menghadap ke timur. Faris membelokkan langkahnya ke sana.

"Oh, kamu mengajakku sholat dulu? Baiklah. Sekarang memang sudah hampir jam dua," kataku, setelah melirik arloji di pergelangan tanganku.

Aku mendahului Faris melepas sepatu, terus ke kamar kecil. Setelah itu mengambil wudhu dan salat dzuhur lebih dahulu, karena Faris tak tampak bayangannya. Kupikir ia sedang berada di kamar kecil.
Kemana sih, dia? Diikuti kok malah menghilang? gerutuku sendirian, sambil mengenakan sepatu bersiap meninggalkan masjid.

Aku kembali ke depan pasar mencari angkutan. Suatu kebetulan, ada colt yang hendak melaju. Aku pun menaikinya dengan bergegas. Setelah lepas lima belas menit, colt yang sudah bergerak pelan, terasa semakin memperlambat lajunya. Kami saling bertatapan. Ada apa? Serentak kami arahkan pandangan ke depan. Ada sekerumunan orang memenuhi jalan di depan. Colt berhenti. Kami turun untuk mencari tahu.

Ternyata ada kecelakaan!
Sebagian penumpangnya mengalami luka berat dan sebagian yang lain luka-luka ringan. Mereka sedang dievakuasi. Dan ternyata itu adalah colt yang hendak kutumpangi tadi, tapi tidak jadi!

Aku tertunduk lemas. Tak henti-hentinya kusebut kebesaran nama-Nya. Pandanganku yang kabur oleh airmata, menangkap tubuh-tubuh yang berlumpur dan berlumur darah terkulai. Pecahan kaca yang berserakan. Mobil yang ringsek. Wajah-wajah yang basah oleh airmata. Telingaku menangkap raungan tangis tak beraturan dari mereka yang masih bisa menagis. Allah Maha Besar.

"Dik, naik lagi. Kita teruskan perjalanan," sebuah suara menyadarkanku dari peristiwa itu.

Kuusap mataku dengan punggung tangan. Tanpa suara kuikuti laki-laki yang berkata tadi. Lalu kami masuk kembali ke colt untuk meneruskan perjalanan.

Begitu sampai di rumah, setengah berlari aku menuju ke rumah Faris. Dia sendiri yang membukakan pintu. Serentak melihat bayangannya, langsung kutubruk dan kupeluk ia. Tangisku pun tumpah di pundaknya.

Faris balas memeluk.

"Tenanglah...," bisiknya lembut dekat telingaku. Dipapahnya tubuhku menuju ke kamarnya. Setelah meminum air putih pemberian Faris, aku sedikit lebih tenang. Lalu kuceritakan semua kepadanya. Tentang pertemuanku dengannya di depan pasar. Tentang salatku di masjid. Juga tentang colt yang tak jadi kutumpangi dan ternyata mendapat kecelakaan...

"Kuminta jawablah pertanyaanku dengan jujur. Di mana saja kamu seharian ini?"
"Seharian ini aku hanya di rumah, tidak pergi ke mana-mana. Sungguh! Kalau tak percaya, tanya Ibu,"kata Faris, serius. "Sejak pagi sampai menjelang dzuhur, aku di sawah bersama Ibu, matun padi. Pulang dari sawah aku mampir ke pancuran, bersih-bersih sekalian ambil air wudhu. Setelah salat dan makan, istirahat sambil membaca-baca. Lalu kamu datang," Jelas Faris runut.

"Aku percaya. Lantas, siapa orang yang mirip kamu yang kutemukan di depan pasar?"

Kami saling berdiam diri, digayuti oleh pikiran masing-masing. 

Dan aku percaya, Allah memang sengaja menyelamatkanku dengan cara-Nya sendiri. Terima kasih, ya Allah, atas pertolongan-Mu. Tak henti-hentinya kusebut nama-Nya.

1 komentar:

  1. Bet365 NJ Casino Bonus Code & Review - MJHUB
    Bet365 NJ Casino 여주 출장마사지 Bonus Code 부산광역 출장샵 | Up to $500 in Bet Credits for new and existing customers 삼척 출장샵 at the end of the month. Use 경기도 출장마사지 the promo 광명 출장안마 code PLAYNJ at Bonus: $500 in free bets

    BalasHapus