Cerpen 5 Juni 2014
Terima Kasih Ya Allah
Setelah beberapa tahun merantau di kota untuk menuntut ilmu,
akhirnya Erfan Pulang kampung. Pengalaman selama merantau, memberi warna tersendiri
dalam hati. Dengan mengantongi ijazah sarjana, aku melangkah tegap menuju bus
yang akan membawaku ke Bandar, sebuah “kota kecil” di pinggiran Kabupaten
Batang.
Bus yang kutumpangi berjalan lambat keluar terminal. Tidak hanya
sekali dua kali bus berhenti untuk
menaik-turunkan penumpang. Bahkan beberapa kali bus malah berjalan mundur,
masuk ke jalan desa, menjemput penumpang yang hampir terlewat.
Sesampai di Pertigaan Wonotunggal langit gelap menyelimuti. Sesaat
kemudian turun hujan. Kuedarkan pandang ke luar jendela bus yang kutumpangi.
Lewat kaca bus yang buram, kulihat butiran mutiara itu berlomba turun menjejak
ke bumi. Banyak rumah baru berdiri di sepanjang pundak jalan yang tidak
seberapa luas.
Sesaat kemudian, tepat pukul 13.00 WIB, bus sampai di depan Pasar Bandar.
Di kota kecil ini hanya terdapat terminal bus kecil sekaligus terminal colt
angkutan pedesaan. Itu pun tak seluruh colt masuk ke terminal. Banyak di
antaranya yang nge-tem di depan pasar sebelah barat, berbaur jadi satu dengan
bus yang akan datang.
"Masih seperti dulu," gumamku membatin.
Ketika melihat sebuah colt jurusan Pekalongan berangkat. Ya, masih
seperti dulu. Colt berangkat dengan penumpang yang berjejal sesak. Dari
belakang yang terlihat jajaran orang bergelantungan rapat membentuk teralis
menutupi bagian belakang mobil. Dan kalau belum mendapat penumpang yang rapat
seperti itu, colt memang belum mau berangkat. Padahal itu sungguh membahayakan
keselamatan penumpang.
Aku menarik napas untuk melonggarkan dadaku yang sesak. Berdesak
dengan orang, barang belanjaan, dan ayam. Sudah tercium olehku keringat
bercampur kubis busuk, kotoran ayam, dan
aroma parfum yang tajam menusuk. Seperti itulah kalau perjalanan kita lekas
sampai, karena jumlah angkutan di sini sangat terbatas.
Colt jurusan kampung halamanku yang kutumpangi hampir penuh.
Beruntung aku mendapat tempat duduk di depan, di ruang kemudi. Meski sesak
juga, tapi tak separah seperti duduk di belakang. Lumayanlah. Tapi harap
diingat, mendapat tempat duduk di ruang sopir, harus berani membayar lebih,
karena lebih nyaman, maka ruang sopir ini banyak diperebutkan.
Calo sudah memintai ongkos para penumpang. Berarti colt sudah
penuh dan siap berangkat. Aku bernapas lega.
Pak sopir masuk ruang kemudi, lalu menghidupkan mesin. Saat itu
melintas sebuah bayangan yang sudah sangat kukenal, di depan colt. Aku masih
mengingatnya dengan baik, itu adalah bayangan Faris, teman sekampung, teman
masa kecil, teman sepermainanku dulu. Kalau ia mau pulang, kenapa tidak naik
colt ini? Dorongan rasa kangen pada sahabat telah mengalahkan kepentinganku
untuk cepat-cepat sampai di rumah.
"Sebentar, Pak Sopir," pintaku pada sopir yang sudah
memasukan perseneling ke gigi satu. Lalu begitu saja aku turun dari mobil,
mengejar Faris.
Terdengar teriakan sopir
di belakang, "Cepat, Dik!"
Sekilas aku menoleh seraya melambaikan tangan menyuruhnya pergi. Pak
sopir maklum, colt itu pun berangkat.
Aku berhasil mengejar Faris.
Kujajari langkahnya.
"Mau kemana?"
tanyaku.
Faris menoleh,
tersenyum. Wajah dan bibirnya tampak pucat, tapi kakinya melangkah ke arah
timur.
"Mestinya kamu
bersama saya naik colt yang tadi. Kamu sudah tahu kan, selepas colt tadi belum
tentu ada colt berikutnya yang bisa membawa kita pulang? Sudah siang begini tak
ada lagi orang berpergian. Anak sekolah dan ibu-ibu yang belanja sudah pada
pulang. Kita pertaruhkan pada nasib baik untuk bisa pulang hari ini."
Faris tak berkomentar.
Kucoba menggandeng tangannya. Dingin. "Kamu sakit? Mau periksa? Okelah,
aku menemanimu."
Melewati sebuah jembatan
kecil, Faris belok ke kiri.
"Lho, kalau mau periksa ke tempat dr. Doddy, beloknya ke
kanan, dong?!" protesku. Faris tak menanggapi protesku. Ia terus saja
melangkah.
"Baiklah, kuikuti kamu," kataku, menyerah.
"Seandainya nanti tidak mendapat colt pulang, toh ada kamu. Kita bisa
pulang jalan kaki bersama.
Kami lewat di depan KUA. Ke utara sedikit, ada Mushola kecil di
sisi barat jalan, menghadap ke timur. Faris membelokkan langkahnya ke sana.
"Oh, kamu mengajakku sholat dulu? Baiklah. Sekarang memang
sudah hampir jam dua," kataku, setelah melirik arloji di pergelangan
tanganku.
Aku mendahului Faris melepas sepatu, terus ke kamar kecil. Setelah
itu mengambil wudhu dan salat dzuhur lebih dahulu, karena Faris tak tampak
bayangannya. Kupikir ia sedang berada di kamar kecil.
Kemana sih, dia? Diikuti kok malah menghilang? gerutuku sendirian,
sambil mengenakan sepatu bersiap meninggalkan masjid.
Aku kembali ke depan pasar mencari angkutan. Suatu kebetulan, ada
colt yang hendak melaju. Aku pun menaikinya dengan bergegas. Setelah lepas
lima belas menit, colt yang sudah bergerak pelan, terasa semakin memperlambat
lajunya. Kami saling bertatapan. Ada apa? Serentak kami arahkan pandangan ke
depan. Ada sekerumunan orang memenuhi jalan di depan. Colt berhenti. Kami turun
untuk mencari tahu.
Ternyata ada kecelakaan!
Sebagian penumpangnya mengalami luka berat dan sebagian yang lain
luka-luka ringan. Mereka sedang dievakuasi. Dan ternyata itu adalah colt yang
hendak kutumpangi tadi, tapi tidak jadi!
Aku tertunduk lemas. Tak henti-hentinya kusebut kebesaran nama-Nya.
Pandanganku yang kabur oleh airmata, menangkap tubuh-tubuh yang berlumpur dan
berlumur darah terkulai. Pecahan kaca yang berserakan. Mobil yang ringsek.
Wajah-wajah yang basah oleh airmata. Telingaku menangkap raungan tangis tak
beraturan dari mereka yang masih bisa menagis. Allah Maha Besar.
"Dik, naik lagi. Kita teruskan perjalanan," sebuah suara
menyadarkanku dari peristiwa itu.
Kuusap mataku dengan punggung tangan. Tanpa suara kuikuti
laki-laki yang berkata tadi. Lalu kami masuk kembali ke colt untuk meneruskan
perjalanan.
Begitu sampai di rumah, setengah berlari aku menuju ke rumah Faris.
Dia sendiri yang membukakan pintu. Serentak melihat bayangannya, langsung
kutubruk dan kupeluk ia. Tangisku pun tumpah di pundaknya.
Faris balas memeluk.
"Tenanglah...," bisiknya lembut dekat telingaku.
Dipapahnya tubuhku menuju ke kamarnya. Setelah meminum air putih pemberian Faris,
aku sedikit lebih tenang. Lalu kuceritakan semua kepadanya. Tentang pertemuanku
dengannya di depan pasar. Tentang salatku di masjid. Juga tentang colt yang tak
jadi kutumpangi dan ternyata mendapat kecelakaan...
"Kuminta jawablah pertanyaanku dengan jujur. Di mana saja
kamu seharian ini?"
"Seharian ini aku hanya di rumah, tidak pergi ke mana-mana.
Sungguh! Kalau tak percaya, tanya Ibu,"kata Faris, serius. "Sejak
pagi sampai menjelang dzuhur, aku di sawah bersama Ibu, matun padi. Pulang dari
sawah aku mampir ke pancuran, bersih-bersih sekalian ambil air wudhu. Setelah
salat dan makan, istirahat sambil membaca-baca. Lalu kamu datang," Jelas Faris
runut.
"Aku percaya. Lantas, siapa orang yang mirip kamu yang
kutemukan di depan pasar?"
Kami saling berdiam
diri, digayuti oleh pikiran masing-masing.
Dan aku percaya, Allah memang sengaja menyelamatkanku dengan
cara-Nya sendiri. Terima kasih, ya Allah, atas pertolongan-Mu. Tak
henti-hentinya kusebut nama-Nya.
Bet365 NJ Casino Bonus Code & Review - MJHUB
BalasHapusBet365 NJ Casino 여주 출장마사지 Bonus Code 부산광역 출장샵 | Up to $500 in Bet Credits for new and existing customers 삼척 출장샵 at the end of the month. Use 경기도 출장마사지 the promo 광명 출장안마 code PLAYNJ at Bonus: $500 in free bets