PROBLEMATIKA EJAAN,
KATA, DAN PEMAKAIANNYA
Jalan ialah pelambangan
fonem dengan huruf (J.S. Badudu, 1984: 31). Ejaan didasarkan pada konvensi
semata-mata. Artinya, lahirnya ejaan tersebut dari hasil persetujuan pemakai
bahasa yang bersangkutan. Ejaan tersebut disusun oleh panitia yang terdiri dari
beberapa ahli bahasa, kemudian disahkan atau diresmikan oleh pemerintah.
Masyarakat pemakai bahasa mematuhi apa yang telah ditetapkan itu.
Persoalan ejaan bukanlah
masalah yang sukar. Sekali kita menguasai cara menuliskan kata atau kalimat
dengan baik, seharusnya kita tidak akan membuat kesalahan-kesalahan. Oleh sebab
itu, kita dituntut untuk memberikan perhatian terhadap cara penulisan yang
benar, apalagi bila pekerjaan kita dalam bidang tulis menulis. Tanpa mempelajarinya
dengan baik, kita tidak akan pernah menguasainya dengan baik pula.
Ejaan yang dipakai di
Indonesia sekarang ini adalah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EBIYD)
atau sering disingkat EYD. Ejaan tersebut disusun oleh Lembaga Bahasa Nasional
(LBN) dan disahkan oleh pemerintah pada tahun 1972. LBN tersebut telah dilebur
ke dalam sebuah lembaga baru yang disebut Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
Bahasa yang salah kaprah
banyak kita jumpai dalam pemakaian bahasa dewasa ini. Hal itu terjadi karena
pemakai bahasa yang bersangkutan sebenarnya tidak tahu secara pasti mengapa ia memilih
bentuk kata orang lain karena ia tertarik akan bentuk itu, tanpa menyadari
bahwa pilihannya itu salah. Bahasa (bentuk kata) yang banyak penyimpangannya dari
kaidah yang berlaku, yang tidak bersistem, yang kacau, dan yang efektif
bukanlah bahasa (bentuk kata) yang baik.
A.
EJAAN PEMBARUAN
Kekurangan-kekurangan dalam sistem
Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) terasa oleh para ahli bahasa termasuk para
pemakai bahasa. Itulah sebabnya, Kongres Bahasa Indonesia ke-2 yang
dilangsungkan di Medan yang dilangsungkan pada tanggal 28 Oktober s.d. November
1954, diputuskan untuk menyusun kembali suatu ejaan lebih baik. Penyusun ejaan
baru itu diserahkan kepada suatu badan yang ditunjuk oleh pemerintah.
Sebagai kelanjutan kongres Medan,
dengan Surat keputusan PP dan K Nomor 448/S tanggal 19 Juli 1956 dibentuklah
Panitia Pembaharuan Ejaan Bahasa Indonesia. Mula-mula diketuai oleh Prof. Dr.
Prijono (alm), kemudian diangkat menjadi Menteri PP dan K, tugasnya diserahkan
kepada E. Kartopo.
Hasil pekerjaan panitia tersebut tidak
pernah diumumkan secara resmi. Salah satu yang menarik dari pekerjaan panitia
ini adalah percobaannya menghilangkan huruf-huruf rangkap seperti dj, tj, dan nj,
dan menggantikan dengan huruf-huruf: j, c, n, dan n. karena j sudah dipakai pengganti
dj, maka y dipakai untuk menggantikan j. vokal rangkap ai, au, dan oi, diubah
menjadi ay, aw, dan oy.
Apabila ejaan pembaharuan ini sempat
dijadikan ejaan resmi, tentulah pada waktu itu mesin-mesin tik dan mesin-mesin
cetak harus mengadakan penambahan huruf-huruf baru. Jadi, hal itu mengalami
problem besar bagi percetakan dan rental pengetikan.
Ejaan Melindo ialah singkatan Ejaan
Melayu-Indonesia. Sebagai tindakan lanjutan persahabatan
Indonesia-Persekutuan Tanah Melayu yang
diadakan pada tanggal 17 April 1959, maka pada tanggal 4 sampai 7 Desember 1959
di Jakarta diadakan sidang bersama antara Panitia Kerjasama Bahasa Melayu/
Bahasa Indonesia, diketuai oleh Prof. Dr. Slamet Mulyana dengan Jawatan Kuasa
Ejaan Rumi Baharu Persekutuan Tanah Melayu dengan yang dipimpin oleh Syed Nasir
bin Ismaiol. Hasil sidang itu ialah pengumuman bersama Ejaan Bahasa
Melayu-Bahasa Indonesia yang pada tahun 1961 diterbitkan oleh Departemen PP dan
K Republik Indonesia. Dalam pengumuman bersama itu, dinyatakan bahwa kedua
pemerintah akan meresmikan Ejaan Melindo itu selambat-lambatnya pada bulan
Januari 1962.
Namun keputusan tersebut tidak pernah
menjadi kenyataan karena peristiwa politik yang menimbulkan
ketegangan-ketegangan, disusul oleh tindakan-tindakan pengganyangan terhadap
Malaysia oleh pemerintahan Soekarno.
Ejaan Melindo yang dihasilkan oleh
panitia itu hampir sama dengan Ejaan Pembaharuan. Bedanya hanyalah pada huruf
tj. Ejaan Melindo memakai c pengganti tj. Huruf nj juga merupakan huruf baru,
tetapi bentuknya agak lain, yaitu huruf n. huruf e benar seperti pada kata ekor, diberi
garis di atasnya (c).
jadi, seperti pada ejaan van Ophuysen. Demikian juga pada Ejaan Pembaharuan.
B.
PROBLEMA EJAAN
Sering banyak kita jumpai di dalam
penulisan kata yang hurufnya bertukar-tukar. Misalnya, kata yang seharusnya
ditulis dengan huruf f dan v dengan p atau kata yang seharusnya ditulis dengan
f ditulis dengan v, kata yang seharusnya ditulis v ditulis orang dengan f atau
sebaliknya.
Mengapa terjadi penulisan demikian?
Sebagian orang tidak tahu dengan pasti huruf mana yang seharusnya digunakan.
Ada juga orang yang menggunakan huruf p karena berpendapat bahwa kata-kata
Indonesia haruslah ditulis dengan p bukan dengan f atau v yang biasa digunakan
untuk menuliskan kata asing saja.
Di dalam Ejaan yang Disempurnakan
(EYD) huruf f dan v tentu saja terjadi dalam sistem ejaan kita. Maksudnya
huruf-huruf tersebut tidak lagi dianggap sebagai huruf asing. Karena itu, ada
kata yang ditulis dengan f dan ada juga ditulis dengan v. Menurut EYD kata-kata
baru bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa asing ditulis sedapat-dapatnya
dengan jauh dari ejaan asalnya. Yang diubah hanya yang betul-betul perlu diubah
saja. Misalnya:
Colaboration
(Ing) menjadi kolaborasi
Administration
(Ing) menjadi administrasi
Function
(Ing) menjadi fungsi
Vocal (Ing) menjadi
vokal
Standardization (Ing) menjadi standardisasi
Contoh kata-kata di atas,
kita perhatikan, bahwa /c/ pada contoh kata colaboration yang berbunyi /k/
diganti dengan huruf k. bunyi akhir –tion ditetapkan diganti dengan –si. Huruf
yang lain tetap sehingga hasil pengindonesiaannya kolaborasi. Begitu juga pada
kata admonistration bunyi akhir –tion diganti dengan –si, hasil
pengindonesiaannya adalah administrasi. Pada kata function, bunyi /f/ tetap
huruf f, namun bunyi akhir –tion diganti dengan –si. Untuk kata vocal, bunyi
/v/ juga tetap ditulis dengan v sedangkan bunyi akhir /cal/ ditulis dengan kal.
Dengan demikian pengindonesiaannya menjadi vokal. Demikian juga
standardization, hanya /z/ yang diganti dengan s dan –tion diganti dengan –si.
Hasilnya standardisasi. Kata itu kita pungut secara utuh dan hanya ejaannya
yang kita sesuaikan dengan ejaan bahasa indonesia. Itulah sebabnya bentuk standarisasi
bukan bentuk yang benar. Kita tidak mengambil standar (dari Standard) lalu kita
tambah dengan akhiran –isasi menjadi standarisasi, tetapi menindonesiakan kata
inggris di atas. Karena itu, / d / pada – disasi tidak usah dihilangkan.
C.
PEMAKAIAN HURUF KAPITAL
Untuk menyatakan gelar kehormatan,
keturunan, dan keagamaan seperti hajah,
haji, nabi, sultan, kita tuliskan huruf pertamanya dengan huruf kapital
(huruf besar) apabila diikuti oleh nama orang. Jadi, kata-kata itu sekaligus
dengan nama yang di belakangnya dipakai sebagai nama orang.
Misalnya: Hajah Sutini
Haji Mansyur
Nabi Adam
Sultan
Ageng Tirtoyoso
Tetapi perhatikan tulisan
berikut:
Tirtoyoso, sultan ageng Banten, digelari juga
pejuang yang gigih melawan penjajah Belanda. Kata “sultan” diawali dengan huruf
kecil karena tidak diikuti nama orang. Contoh lain: Tahun ini Suhada bermaksud
akan naik haji.
Nama pangkat atau jabatan
seperti bupati, presiden, profesor, jenderal huruf pertamanya juga ditulis
dengan huruf kapital apabila kata-kata itu diikuti nama orang.
Misalnya: Bupati Rina Iriani
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono
Profesor
Samsulhadi
Jenderal
Sudirman
Tetapi perhatikan pula
tulisan berikut:
Siapakah bupati Karanganyar tahun 2010 ini?
Universitas Sebelas Maret awal tahun
2010 ini telah memiliki 116 profesor.
SBY baru saja dilantik
menjadi presiden.
Kata nama seperti:
Indonesia, Belanda diberi imbuhan me-kan, ke-an, atau di-kan kata tersebut
dituliskan serangkai dengan imbuhannya dan huruf kapital pada awal kata itu
diganti dengan huruf kecil.
Perhatikan contoh berikut:
Mengindonesiakan kata-kata asing itu
perlu pemikiran yang cermat.
Cara seperti itu masih
kebelanda-belandaan.
Kata book diindonesiakan menjadi kata
buku.
Nama-nama seperti bangsa,
suku, dan bahasa huruf pertamanya ditulis dengan huruf kapital.
Misalnya:
bangsa India
suku Jawa
bahasa Inggris
Bagaimana menulis
singkatan gelar kesarjanaan? Menurut Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan (PUEBIYD) nama gelar dan sapaan yang disingkatkan ditulis sebagai
berikut:
Dr. Doktor
S.H. Sarjana Hukum
Sdr. Saudara Ny. Nyonya
dr. dokter Ir. Insinyur
Prof. Profesor S.S. Sarjana Sastra
S.E. Sarjana
Ekonomi Suyadi, S.E.
Prof. I. Dewa Putu W Ch. Triastuti, S.Pd.
Coba perhatikan! Singkatan
gelar S.H., S.Pd., S.E., S.S. di belakang nama dituliskan sesudah tanda koma di
belakang nama itu. Gelar itu sendiri diberi titik di belakang huruf
singkatannya.
Bagaimana pula penulisan
singkatan untuk nama lembaga dan produk hukum? Menurut Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUEBIYD) singkatan untuk nama lembaga dan
produk hukum yang disingkatkan ditulis sebagai berikut.
SMP Sekolah
Menengah Pertama
MPR Majelis
Permusyawaratan Rakyat
DPU Dinas
Pekerjaan Umum
UUD Undang
Undang Dasar
UU Undang
Undang
SKB Surat
Keputusan Bersama
Sebagai kata ganti atau
sapaan huruf pertama kata-kata, seperti adik, kakak, saudara, paman ditulis
dengan huruf kapital. Bila tidak dipakai sebagai kata sapaan ditulis dengan
huruf kecil saja.
Misalnya: Hari Jumat minggu depan Paman akan datang ke Solo.
Ini apa, Pak?
Buku Saudara
sudah saya kembalikan kemarin.
Apakah Adik
Totok sudah makan?
Tetapi kalau kata ganti
atau sapaan langsung maka huruf pertamanya ditulis dengan huruf kecil saja.
Misalnya: Kita harus menghormati ibu dan bapak kita.
Semua kakak
dan adik saya sudah berkeluarga.
Semua bupati
dan gubernur hadir dalam acara itu.
D. MEMBEDAKAN
“DI” KATA DEPAN DENGAN “DI” SEBAGAI AWALAN
Ejaan baru kita atau Ejaan
yang Disempurnakan hingga sekarang ini sudah hampir empat dasawarsa atau 40
tahun dari peresmiannya pada tanggal 16 Agustus 1972. Namun, sampai hari ini
kita lihat masih banyak kesalahan yang dibuat oleh pemakai bahasa ini dalam
menuliskan kata atau kalimat. Kesalahan tersebut berupa penggunaan huruf
kapital dan huruf kecil, penggunaan koma, titik koma, titik dua, penulisan
frasa yang terpisah atau diserangkaikan masih saja kacau. Hal ini disebabkan
oleh kekurangan penguasaan ejaan bagi pemakai bahasa tersebut.
Masalah ejaan sebenarnya
bukan merupakan hal yang sukar. Sekali kita menguasai menuliskan kata atau
kalimat dengan baik, seterusnya kita tidak akan membuat kesalahan-kesalahan.
Oleh sebab itu, kita dituntut untuk memberikan perhatian yang besar terhadap
cara penulisan yang benar. Tanpa mempelajari dengan sungguh-sungguh, kita tidak
akan pernah menguasasianya dengan baik.
Masalah kata depan, “di”
dan awalan “di”. Sampai sekarang masih banyak kita lihat kesalahan dibuat orang
dalam menuliskan kata yang berawalan di- atau berkata depan di. Dalam
surat-surat kabar dan majalah pun masih banyak kita temukan kesalahan, padahal
mudah sekali membedakan mana bentuk di yang harus ditulis dengan terpisah dari
kata yang mengikutinya dan mana bentuk di yang harus dirangkaikan.
Awalan di- hanya terdapat
pada kata kerja baik kata kerja berakhiran –kan atau –I maupun tanpa
akhiran-akhiran itu.
Misalnya:
Disepak, disepakkan,
disepaki
Ditembak, ditembakkan,
ditembaki
Kata kerja yang berawalan
di- tersebut ialah semua kata yang menjadi jawab pertanyaan diapakan dia, atau
diapakan benda itu. Hal ini adalah salah satu cara mengenal kata dengan awalan
di-. Cara yang kedua, ialah bahwa kata-kata kerja yang berawalan di- mempunyai
bentuk lawan awalan me-.
Misalnya: disepak lawannya menyepak
disepakkan lawannya menyepakkan
disepaki lawannya menyepaki
Jadi, kalau kita ragu
apakah di pada kata itu dirangkaikan, kita cobalah membentuk lawan kata itu
dengan cara di atas. Apabila ada lawan bentuknya dengan awalan me-, pastilah
bentuk di- pada kata itu adalah awalan dan oleh karenanya haruslah
dirangkaikan.
Kata depan di memang harus ditulis terpisah dari
kata yang mengikutinya karena di
jenis ini mempunyai kedudukan sebagai kata. Fungsinya menyatakan “tempat”. Cara
mengenalnya mudah sekali. Semua kata yang menjadi jawab pertanyaan di mana
pastilah kata yang mengandung kata depan di, karena itu jawaban itu harus
ditulis duapatah kata yang terpisah (J.S. Badudu, 1996).
Berdasarkan penjelasan
tersebut kata seperti di atas, di sana, di tepi, di sini, di belakang pun harus
dituliskan terpisah sebagai dua patah kata seperti di rumah, di kebun, di
sekolah, di pantai. Cara di atas untuk mengenal bentuk di tersebut kata depan
ialah bahwa kata depan di itu mempunyai pasangan yaitu kata depan dari, dan ke.
Contoh: di sini ke sini dari sini
di
rumah ke rumah dari rumah
di toko
ke toko dari toko
Namun demikian, ada bentuk
kekecualian. Kata kepada dan daripada selalu harus dituliskan serangkai sebagai
sepatah kata saja. Selanjutnya, kata kemari juga dituliskan serangkai sebagai
sepatah kata karena tidak ada pasangannya di mari dan dari mari. Selain itu, kata
ke luar lawan kata ke dalam harus dibedakan dari kata keluar lawan kata masuk.
Bentuk kata keluar ini merupakan kata kerja.
Contoh : Tutik keluar
dari pintu samping.
Dari
tadi Siti selalu memandang ke luar.
E. PROBLEMA
PARTIKEL “PUN” BAHASA INDONESIA
Dalam bahasa Indonesia
terdapat tiga macam “pun”. Ketiga macam pun tersebut sebagai berikut:
Pertama, “pun” sebagai
bentuk klitika, yaitu unsur yang melekat pada unsur yang lain. Dengan perkataan
lain pun yang melekat pada kata yang mendahuluinya sebagai klitika. Kata-kata
itu ialah: walaupun, sekalipun, biarpun, sungguhpun, kendatipun, adapun.
Kata-kata seperti ini termasuk jenis kata tugas yaitu kata-kata yang berfungsi
penghubung atau pengantar kalimat.
Misalnya:
Walaupun hari hujan, saya
tetap akan hadir pada rapat itu.
Adapun maksud saya datang
kemari ialah untuk menjelaskan perkara itu.
Kalaupun Saudara mau, ayah
dan ibu Saudara tetap tidak akan mengizinkannya.
Kedua, “pun” yang
berfungsi sebagai kata penuh yaitu yang bersinonim dengan kata juga. Kita
perhatikan contoh kalimat berikut:
Jangankan kamu, saya pun
tidak diundang pada rapat itu.
Selain siswa, guru pun
akan ikut berangkat ke Sala pada tutup tahun itu.
Ketiga, “pun” yang
berfungsi sebagai kata-kata yang menyatakan perlawanan. Seperti pada kata-kata
meskipun, biarpun, kendatipun, sungguhpun, walaupun.
Contoh:
Berdiri pun si sakit itu
tak sanggup, apalagi disuruh berjalan. (walaupun berdiri).
Diberi pun tidak mau aku
menerimanya, apalagi disuruh membeli. (meskipun diberi)
Berdasarkan uraian di
atas, kita dapat menarik simpulan bahwa pun yang dituliskan terpisah dari kata
yang mendahuluinya ialah pun yang menyertai kata kerja, kata ganti, kata benda,
kata sifat. Perhatikan sekali lagi contoh di bawah ini!
1)
Makan
pun dia tidak mau. (makan = kata kerja)
2)
Dia
pun tidak disapanya. (dia = sapaan/orang)
3)
Putih
pun termasuk warna pilihanku (putih = kata sifat)
4)
Murah
pun harganya aku tidak mau membeli. (murah = kata sifat)
5)
Satu
sekolah pun tidak ada bangunan di daerah itu. (sekolah = kata benda)
F.
PROBLEMA
GABUNGAN KATA DAN PENGULANGANNYA
Masalah pengulangan
gabungan kata bawah ini ada seseorang mengajukan pertanyaan kepada saya. Mana
yang benar, orang-orang tua atau orang tua-orang tua? Untuk itu perlu dijelaskan
dahulu tentang kata orang tua itu. Ada dua hal, yang pertama orang tua yang
berupa kata majemuk berarti “ibu bapak” dan yang kedua, frasa yang berarti
“orang yang tua”. Karena kedua kata itu berbeda dengan bentuk dan maknanya,
maka bentuk ulangannya pun memang harus dibedakan. Perhatikan kalimat di bawah
ini!
a.
SMA
Negeri X itu mengadakan pertemuan antara guru-guru dengan orang-orang tua
murid.
b.
Perkumpulan
PWRI Cabang Surakarta itu anggotanya hanyalah orang tua-tua.
Dengan
bentuk pengulangan kata itu dalam kedua kalimat di atas, jelas kepada kita
bahwa orang-orang tua murid ialah “para ibu bapak murid” , sedangkan orang tua-tua
ialah orang yang sudah tua” (dalam pengertian jamak).
Pengulangan
kata tua menjadi tua-tua memang menekankan pada sifat tua sebagai lawan sifat
muda. Kalau dikatakan orang tua-tua atau orang muda-muda tentulah yang dimaksud
bukan seorang, tetapi banyak.
Ada
juga yang mengusulkan agar kata majemuk orang tua ‘ibu bapak’ sebaiknya diulang
seluruhnya menjadi orang tua-orang tua. Mengapa demikian ? hal ini sesuai
dengan kaidah bahasa indonesia yang berlaku bahwa kata majemuk itu merupakan
satu kesatuan arti dan bentuk. Dengan demikian, kata majemuk itu merupakan satu
kata. Namun, yang seperti ini menyalahi kaidah bahasa asal bahasa indonesia,
yaitu bahasa melayu. Di dalam bahsa melayu, baik kata majemuk maupun kelompok
kata (frasa) yang diulang hanyalah konstituen pokoknya, sedangkan pewatasnya
tidak usah diulang. Misalnya:
Rumah-rumah makan bukan rumah
makan-rumah makan
Meja-meja tulis bukan meja tulis-meja
tulis
Namun,
harus kita akui bahwa ada yang berubah dalam bahsa indonesia sehingga tidak
lagi sama dengan bahasa melayu dahulu. Di dalam buku tata bahasa baku bahsa
indonesia (TBBBI) yang dikeluarkan oleh pusat bahasa ada kata yang terbentuk
dari dua morfem yang dituliskan serangkai seperti sepatah kata saja. Misalnya, kacamata, matahari, olahraga, saputangan,
hulubalang. Kalau kata gabung itu dituliskan serangkai seperti itu, tidak
lagi dipersoalkan bagaimana bentuk ulangnya sekiranya kata-kata itu akan
diulang. Tentulah diulang seluruhnya, kacamata
- kacamata, matahari - matahari, olahraga - olahraga, saputangan - saputangan,
hulubanlang - hulubalang.
Usul
agar kata-kata gabung itu ditulis serangkai akan menimbulkan kesukaran dalam
dalam membaca karena terlalu banyaknya huruf yang dirangkaika. Makin panjang
kata makin sukar dibaca. Misalnya, keretaapicepatmalam
yang dituliskan seperti itu lebih sukar dibaca daripada yang dituliskan kata
demi kata: kereta api cepat malam. Apalagi
kalau diulang menjadi keretaapicepatmalam-kerataapicepatmala.
Oleh karena itu, dalam bahasa melayau, yang diulang itu hanya konstituen
pokoknya sehingga menjadi kereta api
cepat malam.
Dalam
bahasa indonesia dewasa ini, ada kecederungan orang untuk selalu mengulang kata
benda bila ingin menyatakan jamak. Padahal, dalam bahasa kita ada cara lain
untuk menyatakan jamak itu yaitu dengan menggunakan kata seperti semua, banyak, beberapa, segala, seluruh.
Alih-alih mengatakan negara-negara
kita katakan beberapa negara atau banyak negara.
Frasa
adalah gabungan dua unsur atau lebih yang tidak melebihi batas fungsi. Artinya,
gabungan unsur tersebut hanya menduduki fungsi tertentu, misalnya hanya sebagai
subjek atau predikat saja. Bagaimana menuliskan gabungan unsur (kata) tersebut
sesuai dengan aturan yang berlaku ? di dalam buku dikatakan sebagai berikut.
- Gabungan kata yang lazim disebut
kata majemuk termasuk istilah khusus, bagian-bagiannya ditulis terpisah.
Misalnya:
meja makan mata pelajaran
orang tua kambing hitam
duta besar bus malam
kereta api cepat rumah sakit umum
Gabungan kata yang lazim
disebut kata majemuk seperti contoh di atas, bila diulang seluruhnya.
Perhatikan beberapa contoh di bawah ini !
meja makan – meja makan
orang tua – orang tua
duta besar – duta besar
kereta api cepat – kereta
api cepat
mata pelajaran – mata
pelajaran
kambing hitam – kambing
hitam
bus malam – bus malam
rumah sakit umum – rumah
sakit umum
- Gabungan kata, termasuk istilah
khusu, yang mungkin menimbulkan salah pengertian, dapat diberi tanda
hubung untuk menegaskan pertalian diantara unsur (kata) yang bersangkutan.
Misalnya :
buku geigrafi-baru watt-jam
mesin-hitung tangan anak-istri
alat pandang-dengar ibu-bapak
Perhatikan perbedaan
gabungan kata dalam kalimat di bawah ini !
a.
Anak-istri
Paman semuanya sudah menikah. (yang dimaksudkan ialah anak Paman dan istri
Paman).
b.
Anak
istri-paman yang menjadi tanggungan Paman dua orang. (yang dimaksudkan ialah
anak bawaan istrinya, yaitu anak istrinya dari suaminya yang dahulu, anak tiri
Paman).
c.
Sekarang
masih ada dipakai mesin-hitung tangan. (yang dimaksudkan ialah mesin untuk
menghitung yang digerakkan dengan tangan, bukan listrik atau dengan alat lain).
Jadi, kalau dalam penulisan
mungkin timbul makna ganda, gunakanlah garis tanda hubung untuk memperjelas
makna yang dimaksudkan. Tulisan buku geografi baru dapat diartikan 1) yang itu
bukunya; 2) yang baru geografinya. Kalau yang dimaksud yang petama, anda bubuhkanlah
tanda hubung di antara kata yang pertama dan yang kedua (buku-geografi baru),
sedangkan juka pengertian kedua yang Anda maksudkan, bubuhkanlah garis tanda
hubung itu diantara ketakedua dan ketiga (buku geografi-baru).
Dari contoh diatas, dapat
diketahui bahwa frasa (kata gabung) selalu harus kita tuliskan terpisah sebagai
dua kata. Di depan (awalan) maupun dibelakang (akhiran) masih tetap dituliskan
terpisah sebagai dua patah kata tetapi apabila frasa maka frasa (kata gabung)
itu dalam bentuk baru dengan awalan dan akhiran dituliskan serangkai sebagai
sepatah kata.
Perhatikan contoh di bawah
ini !
Misalnya :
tanggung jawab beri tahu
bertanggung jawab diber tahu
mempertanggungjawabkan memeberitahukan
pertanggungjawaban pemberitahuan
- Gabungan kata yang sudah dianggap
sebagai satu kata ditulis serangkai :
Misalnya :
barangkali apabila
silaturahmi bagaimana
padahal matahari
daripada peribahasa
kepada bumiputra
bismilah manakala
halalbihalal syahbandar
alhamdulillah bilamana
Ada bentuk (unsur) bahasa
yang hanya muncul dalam bentuk gabungan. Maksudnya bentuk bahasa tidak pernah
berdiri sendiri, tetapi selalu muncul berkombinasi dengan unsur yang lain.
Bentuk seperti itu harus selalu dituliskan serangkai dengan unsur lain yang
delekati itu.
Misalnya:
caturwulan politeknik
prasangka swadaya
mahasiswa pancasila
antardesa semipermanen
tripitaka internasional
intransitif ultramodern
Kalau kata yang dilekatinya itu berhuruf awal huruf
kapital, maka antara unsur gabung itu dengan kata yang dilekatinya diberi garis
tanda hubung. Misalnya: pan-Afrika, non-jawa, se-Kabupaten X.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar