Senin, 20 April 2015

Model Pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning)

PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL)


Pendekatan Contextual Teaching and Learning merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi  yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.  Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Pendekatan kontekstual atau CTL memiliki tujuh komponen utama, yaitu :
1.      Kontruktivisme (Contructivism)
Dalam pandangan ini, pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks ruang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Siswa dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan di benak mereka sendiri (depdiknas, 2002:11). Pengetahuan dan pengalaman yang sudah ada pada diri siswa dimanfaatkan dan siswa dilibatkan secara aktif, kreatif, produktif, dalam proses pembelajaran dan diberikan pengalaman memecahkan masalah yang ada dalam kehidupan nyata atau dalam konteks permasalahan yang ada dalam kehidupan nyata atau dalam konteks bermakna (Depdiknas, 2004:6).
Pandangan kontruktivisme berpendapat bahwa manusia mengontruksi sendiri pengetahuan yang diperolehnya berdasarkan pada skemata atau prior knowledge yang dimilikinya. Oleh sebab itu, kemajemukan cara memperoleh pengetahuan dan memberikan sesuatu sah adanya. Kontruktivisme sangat menghargai kemajemukan dan tidak menyarankan keseragaman (Depdiknas, 2004:26).
Dengan dasar tersebut, pembelajaran dikemas menjadi proses “mengontruksi” bukan “menerima” pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran. Dalam pandangan kontruktivisme, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitaskan proses tersebut dengan : (1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa, (2) memberikan kesempatan pada siswa untuk menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan (3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar (Depdiknas, 2002:11).
2.      Menemukan (Inquiry)
Kata kunci dari strategi inkuiri adalah “siswa menemukan sendiri”. Langkah-langkah kegiatan inquiry adalah : (1) Merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apapun). (2) mengamati dan melakukan observasi. Misalnya, mengamati dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari sumber atau objek yang diamati. (3) menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya. (4) Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audiens yang lain. Misalnya, karya siswa disampaikan pada teman sekelas atau orang banyak untuk mendapatkan masukan (Depdiknas, 2002:13). Melalui inkuiri siswa diberi kesempatan  untuk menggunakan proses mental dalam menemukan konsep atau prinsip ilmiah, serta meningkatkan potensi intelektualnya (Mulyasa, 2004:107).
3.      Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting, yaitu untuk menggali informasi, menginformasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk: (1) menggali informasi, (2) mengecek pemahaman siswa, (3) membangkitkan respon kepada siswa, (4) mengetahu seberapa jauh keingintahuan siswa, (5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, (6) memfokuskan perhatian pada suatu yang dikehendaki dosen, (7) untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, (8) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa (Depdiknas, 2002:14).
4.      Masyarakat Belajar (Learning Community)
Learning community  merupakan salah satu teknik dalam pendekatan kontekstual. Dengan tekhnik ini pembelajaran diperolah dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh melalui shering  antar teman, antar kelompok dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Kegiatan ini akan terjadi bila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya dan tidak ada pihak yang menganggap dirinya yang paling tahu. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari.
5.      Pemodelan
Dalam sebuah pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, contoh karya, cara melafalkan bahasa inggris, dan sebagainya. Dalam pendekatan kontekstual atau Contextual Teaching and Learning, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Contoh pemodelan di kelas, misalnya guru bahasa indonesia menunjukkan teks berita dari sebuah harian sebagai modal berita (Depdiknas, 2004:6).
6.      Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan. Siswa mendapatkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Kunci dari refleksi adalah bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa. Siswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide baru (Depdiknas, 2002:18).
Refleksi merupakan juga bagian penting dalam proses pembelajaran yang perlu dilakukan pada setiap akhir segmen pembelajaran atau akhir pembelajaran karena dengan adanya refleksi dapat diketahui apa yang diperoleh siswa dan bagaimana proses pemerolehannya (Depdiknas, 2004:7).
7.      Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan sepanjang proses pembelajaran dengan benar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan disepanjang proses pembelajaran, maka assessment tidak dilakukan diakhir periode (semester) pembelajaran, tetapi dilakukan bersama secara terintergrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran. Oleh karena assessment menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran (Depdiknas, 2002:19).
Gibbs, (1972) (dalam Mulyasa, 2004:106) menyimpulkan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya, kreativitas dapat dikembangkan dengan memberi kepercayaan, komunikasi bebas, pengarahan diri, dan pengawasan yang tidak terlalu ketat. Hasil penelitian tersebut dapat diterapkan atau ditransfer dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini, siswa akan lebih kreatif jika: (1) dikembangkan rasa percaya diri pada mereka, dan mengurangi rasa takut. (2) memberi kesempatan kepada seluruh siswa untuk berkomunikasi ilmiah secara bebas dan terarah. (3) melibatkan siswa dalam menentukan tujuan belajar dan evaluasinya. (4) memberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat dan tidak otoriter. (5) melibatkan mereka secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran secara keseluruhan (Fenolingua, Agustus 2008).



Langkah-langkah Pembelajaran CTL
Secara sederhana langkah penerapan CTL dalam kelas adalah sebagai berikut:
1.      Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengontruksikan sendiri, pengetahuan dan keterampilan barunya!
2.      Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik!
3.      Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya!
4.      Ciptakan ‘masyarakat belajar’ (belajar dalam kelompok-kelompok)!
5.      Hadirkan ‘model’ sebagai contoh pembelajaran!
6.      Lakukan refleksi diakhir pertemuan!
7.      Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara!

Ciri Kelas yang menggunakan pendekatan kontekstual
1.      Pengalaman nyata
2.      Kerja sama saling menunjang
3.      Gembira, belajar dengan bergairah
4.      Pembelajaran terintegrasi
5.      Menggunakan berbagai sumber
6.      Siswa aktif dan kritis
7.      Menyenangkan, tidak membosankan
8.      Shering dengan teman
9.      Guru kreatif

Penerapan Pendekatan CTL dalam Pembelajaran Menulis
Penerapan pendekatan CTL dalam pembelajaran menulis dilakukan dengan mengembangkan pemikiran bahwa pembelajaran akan lebih bermakna apabila tujuh komponen CTL diterapkan secara nyata selama proses pembelajaran menulis berlangsung.
Penerapan pembelajaran menulis dengan pendekatan kontekstual atau CTL dapat dilaksanakan dengan langkah: (1) mengamati objek yang akan ditulis, (2) mencatat unsur-unsur penting dari objek yang akan ditulis; (3) menyusun kerangkan tulisan; (4) menulis sesuai dengan objek yang akan diamati dan kerangka tulisan yang telah disusun; (5) membentuk kelompok untuk diskusi; (6) mendiskusikan hasil tulisan; dan (7) memperbaiki hasil tulisan berdasarkan hasil diskusi dan arahan dosen atau guru (fenolingua, Agustus 2008, tahun 16, nomor 2).
Guru dapat pula mengembangkan cara lain dalam pembelajaran dalam menulis dengan CTL melalui penerapan tujuh langkah. Adapun langkah-langkah konkret dalam pembelajaran menulis dengan menerapkan tujuh komponen CTL adalah sebagai berikut.
1.      Inkuiri
Pelaksanaan proses belajar menulis (mengarang) dilaksanakan dalam tahap pra menulis, menulis, dan pasca menulis. Pada tahap pra menulis, siswa dilarang untuk dapat menghasilkan ide atau gagasan dari pengetahuan atau pengalaman yang dimilikinya. Siswa dilatih untuk dapat mengembangkan daya imajinasinya melalui kegiatan menemukan (inkuiri). Kegiatan inkuiri dalam pembelajaran menulis diwujudkan melalui kegiatan menemukan topik, judul, dan ide pokok karangan berdasarkan pengalaman nyata para siswa yang dituliskan dalam kerangka (draf) kerangka yang dapat diperoleh dengan melakukan pengamatan, bertanya, dan menyimpulkan.
2.      Bertanya
Bertanya merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh informasi dari orang lain. Dalam pembelajaran menulis, bertanya (tanya-jawab) dilakukan sebagai ajang tukar pengetahuan atau pengalaman diantara para pelaku belajar. Kegiatan bertanya dilakukan dengan cara mengelompokkan para siswa dalam beberapa kelompok belajar. Para siswa dalam satu atau antar kelompok melakukan kegiatan bertanya untuk memperoleh pengetahuan atau informasi dari temannya yang dapat digunakan untuk bahan dalam mengembangkan karangan.
3.      Konstruktivisme
Langkah konkret melalui proses yang dilaksanakan dalam menulis (mengarang) pada elemen ini dilakukan dalam tahapan-tahapan tertentu secara runtut. Tahapan mengarang diawali dari menentukan topik dan judul karangan, menyusun kerangka karangan, mengembangkan paragraf menjadi karangan. Dengan cara yang demikian, hasil karangan atau tulisan para siswa menjadi lebih baik atau optimal.
4.      Masyarakat Belajar
Kegiatan menulis (mengarang) dapat dilakukan melalui kerjasama teman dalam kelompok atau teman antar kelompok. Pengetahuan yang dibangun melalui kerjasama dengan teman, dapat digunakan sebagai acuan pola pikir setiap individu siswa.
Masyarakat belajar yang diterapkan pada pembelajaran menulis, membuat siswa merasa terbantu dalam proses belajarnya untuk dapat menghasilkan karangan yang lebih baik dibandingkan dengan pola belajar secara individu. Implementasi pada kegiatan menulis dapat diwujudkan dalam kegiatan menentukan topik karangan, dan menyusun kerangka karangan. 
5.      Pemodelan
Implementasi terhadap pembelajaran menulis pada elemen pemodelan adalah dengan memberi model atau contoh karangan yang baik dan benar. Pemberian model dalam pembelajaran menulis dapat mengefektifkan proses pembelajaran. Dengan memberikan contoh pola karangan kepada siswa, mereka merasa lebih mudah dalam mengerjakan tugas dari gurunya melalui pola yang telah dicontohkan.
6.      Penilaian Otentik
Elemen penilaian otentik dalam pembelajaran menulis dilakukan dengan memberi latihan kepada para siswa untuk menilai karangan teman dan karangan sendiri secara objektif. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka melatih siswa memiliki sifat kejujuran dalam bekerja.
7.      Refleksi
Dalam kegiatan menulis (mengarang), refleksi sangat dibutuhkan untuk dapat mengembangkan ide atau gagasan yang dituangkan dalam bentuk tulisan atau karangan. Kegiatan refleksi dilakukan pada setiap proses pembuatan karangan mulai dari tahap penentuan topik karangan sampai kegiatan merevisi atau memperbaiki karangan.

Contoh Skenario Pembelajaran Kontekstual untuk Bahasa Indonesia
Pengorganisasian : Kelompok kecil 4-5 orang
Standar Kompetensi :
Setelah mengikuti kukliah mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi mengenai ruang lingkup perencanaan pengajaran bahasa, pengembangan rumusan tujuan pembelajaran bahasa, pengembangan evaluasi pengajaran bahasa, pengembangan strategi dan metode pengajaran bahasa, pengembangan materi ajar bahasa, ranah-ranah tujuan pengajaran, komponen-komponen, dan dapat mengembangkan RPP yang ideal.

Kompetensi Dasar:
Dapat memahami konsep rumusan tujuan pembelajaran, ranah-ranahnya, komponen-komponennya, dan dapat mengembangkan rumusan tujuan pembelajaran yang ideal.

Indikator :
1.      Dapat mendeskripsikan ranah-ranah tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
2.      Dapat mengidentifikasikan komponen-komponen tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
3.      Dapat membuat rumusan tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam 3 ranah.

Pola Pembelajaran :
1.      Melalui diskusi mahasiswa dapat mendeskripsikan ranah-ranah tujuan pembelajaran dengan tepat.
2.      Melalui disukusi mahasiswa dapat mengidentifikasikan komponen-komponen tujuan pembelajaran dengan tepat.
3.      Melalui diskusi mahasiswa dapat membuat rumusan tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan ideal.

Contoh Pola Pembelajaran CTL Bahasa Indonesia :
(Contextual Teaching and Learning) dengan langkah-langkah: questioning, modeling, learning community, contructivism, inquiry, reflection, autentic assessment.
Langkah-langkah perkuliahan :
1.      Kegiatan Awal :
Dosen menjelaskan tujuan perkuliahan data teknis belajar.
2.      Kegiatan Inti :
1)      Eksplorasi : mahasiswa membahas kasus-kasus yang terkait dengan rumusan tujuan pembelajaran yang salah
2)      Elaborasi : mahasiswa belajar dalam kelompok untuk mendiskusikan masalah yang diundi oleh dosen kemudian mempresentasikannya.
3)      Konfirmasi : mahasiswa dan dosen bersama-sama membahas analisis dan solusi yang sudah dibuat oleh kelompok mengenai rumusan tujuan yang salah. Dosen memberikan reward and punisment bagi pekerjaan mahasiswa.
3.      Kegiatan Akhir :
Mahasiswa menyimpulkan hasil komentar dari setiap presentasi kelompok dan dosen melakukan refleksi.
Alat, Bahan, Sumber Belajar
Alat : Papan tulis, spidol, laptop, LCD proyektor.
Bahan : paper, handout, teks.
Buku Perencanaan Pengajaran Bahasa karya Dr. Esti Ismawati, M.Pd. Penerbit Cawangmas Yogyakarta tahun 2009 halaman 17-39.
Buku PPSI Karya Abdul Ghofur penerbit CV Samudra Salatiga.
Penilaian
Teknik : Tes Unjuk Kerja
Bentuk Instrumen :
1)      Buatlah contoh rumusan tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia ranah kognitif.
2)      Buatlah contoh rumusan tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia ranah afektif.

3)      Buatlah contoh rumusan tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia ranah psikomotorik.

Jumat, 17 April 2015

PROBLEMATIKA EJAAN, KATA, DAN PEMAKAIANNYA

PROBLEMATIKA EJAAN, KATA, DAN PEMAKAIANNYA


Jalan ialah pelambangan fonem dengan huruf (J.S. Badudu, 1984: 31). Ejaan didasarkan pada konvensi semata-mata. Artinya, lahirnya ejaan tersebut dari hasil persetujuan pemakai bahasa yang bersangkutan. Ejaan tersebut disusun oleh panitia yang terdiri dari beberapa ahli bahasa, kemudian disahkan atau diresmikan oleh pemerintah. Masyarakat pemakai bahasa mematuhi apa yang telah ditetapkan itu.
Persoalan ejaan bukanlah masalah yang sukar. Sekali kita menguasai cara menuliskan kata atau kalimat dengan baik, seharusnya kita tidak akan membuat kesalahan-kesalahan. Oleh sebab itu, kita dituntut untuk memberikan perhatian terhadap cara penulisan yang benar, apalagi bila pekerjaan kita dalam bidang tulis menulis. Tanpa mempelajarinya dengan baik, kita tidak akan pernah menguasainya dengan baik pula.
Ejaan yang dipakai di Indonesia sekarang ini adalah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EBIYD) atau sering disingkat EYD. Ejaan tersebut disusun oleh Lembaga Bahasa Nasional (LBN) dan disahkan oleh pemerintah pada tahun 1972. LBN tersebut telah dilebur ke dalam sebuah lembaga baru yang disebut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Bahasa yang salah kaprah banyak kita jumpai dalam pemakaian bahasa dewasa ini. Hal itu terjadi karena pemakai bahasa yang bersangkutan sebenarnya  tidak tahu secara pasti mengapa ia memilih bentuk kata orang lain karena ia tertarik akan bentuk itu, tanpa menyadari bahwa pilihannya itu salah. Bahasa (bentuk kata) yang banyak penyimpangannya dari kaidah yang berlaku, yang tidak bersistem, yang kacau, dan yang efektif bukanlah bahasa (bentuk kata) yang baik.
A.   EJAAN PEMBARUAN
Kekurangan-kekurangan dalam sistem Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) terasa oleh para ahli bahasa termasuk para pemakai bahasa. Itulah sebabnya, Kongres Bahasa Indonesia ke-2 yang dilangsungkan di Medan yang dilangsungkan pada tanggal 28 Oktober s.d. November 1954, diputuskan untuk menyusun kembali suatu ejaan lebih baik. Penyusun ejaan baru itu diserahkan kepada suatu badan yang ditunjuk oleh pemerintah.
Sebagai kelanjutan kongres Medan, dengan Surat keputusan PP dan K Nomor 448/S tanggal 19 Juli 1956 dibentuklah Panitia Pembaharuan Ejaan Bahasa Indonesia. Mula-mula diketuai oleh Prof. Dr. Prijono (alm), kemudian diangkat menjadi Menteri PP dan K, tugasnya diserahkan kepada E. Kartopo.
Hasil pekerjaan panitia tersebut tidak pernah diumumkan secara resmi. Salah satu yang menarik dari pekerjaan panitia ini adalah percobaannya menghilangkan huruf-huruf rangkap seperti dj, tj, dan nj, dan menggantikan dengan huruf-huruf: j, c, n, dan n. karena j sudah dipakai pengganti dj, maka y dipakai untuk menggantikan j. vokal rangkap ai, au, dan oi, diubah menjadi ay, aw, dan oy.
Apabila ejaan pembaharuan ini sempat dijadikan ejaan resmi, tentulah pada waktu itu mesin-mesin tik dan mesin-mesin cetak harus mengadakan penambahan huruf-huruf baru. Jadi, hal itu mengalami problem besar bagi percetakan dan rental pengetikan.
Ejaan Melindo ialah singkatan Ejaan Melayu-Indonesia. Sebagai tindakan lanjutan persahabatan Indonesia-Persekutuan  Tanah Melayu yang diadakan pada tanggal 17 April 1959, maka pada tanggal 4 sampai 7 Desember 1959 di Jakarta diadakan sidang bersama antara Panitia Kerjasama Bahasa Melayu/ Bahasa Indonesia, diketuai oleh Prof. Dr. Slamet Mulyana dengan Jawatan Kuasa Ejaan Rumi Baharu Persekutuan Tanah Melayu dengan yang dipimpin oleh Syed Nasir bin Ismaiol. Hasil sidang itu ialah pengumuman bersama Ejaan Bahasa Melayu-Bahasa Indonesia yang pada tahun 1961 diterbitkan oleh Departemen PP dan K Republik Indonesia. Dalam pengumuman bersama itu, dinyatakan bahwa kedua pemerintah akan meresmikan Ejaan Melindo itu selambat-lambatnya pada bulan Januari 1962.
Namun keputusan tersebut tidak pernah menjadi kenyataan karena peristiwa politik yang menimbulkan ketegangan-ketegangan, disusul oleh tindakan-tindakan pengganyangan terhadap Malaysia oleh pemerintahan Soekarno.
Ejaan Melindo yang dihasilkan oleh panitia itu hampir sama dengan Ejaan Pembaharuan. Bedanya hanyalah pada huruf tj. Ejaan Melindo memakai c pengganti tj. Huruf nj juga merupakan huruf baru, tetapi bentuknya agak lain, yaitu huruf n. huruf e benar seperti pada kata ekor, diberi garis di atasnya (c). jadi, seperti pada ejaan van Ophuysen. Demikian juga pada Ejaan Pembaharuan.
B.   PROBLEMA EJAAN
Sering banyak kita jumpai di dalam penulisan kata yang hurufnya bertukar-tukar. Misalnya, kata yang seharusnya ditulis dengan huruf f dan v dengan p atau kata yang seharusnya ditulis dengan f ditulis dengan v, kata yang seharusnya ditulis v ditulis orang dengan f atau sebaliknya.
Mengapa terjadi penulisan demikian? Sebagian orang tidak tahu dengan pasti huruf mana yang seharusnya digunakan. Ada juga orang yang menggunakan huruf p karena berpendapat bahwa kata-kata Indonesia haruslah ditulis dengan p bukan dengan f atau v yang biasa digunakan untuk menuliskan kata asing saja.
Di dalam Ejaan yang Disempurnakan (EYD) huruf f dan v tentu saja terjadi dalam sistem ejaan kita. Maksudnya huruf-huruf tersebut tidak lagi dianggap sebagai huruf asing. Karena itu, ada kata yang ditulis dengan f dan ada juga ditulis dengan v. Menurut EYD kata-kata baru bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa asing ditulis sedapat-dapatnya dengan jauh dari ejaan asalnya. Yang diubah hanya yang betul-betul perlu diubah saja. Misalnya:
Colaboration (Ing)                         menjadi kolaborasi
Administration (Ing)                       menjadi administrasi
Function (Ing)                                menjadi fungsi
Vocal (Ing)                                                menjadi vokal
Standardization (Ing)                     menjadi standardisasi
Contoh kata-kata di atas, kita perhatikan, bahwa /c/ pada contoh kata colaboration yang berbunyi /k/ diganti dengan huruf k. bunyi akhir –tion ditetapkan diganti dengan –si. Huruf yang lain tetap sehingga hasil pengindonesiaannya kolaborasi. Begitu juga pada kata admonistration bunyi akhir –tion diganti dengan –si, hasil pengindonesiaannya adalah administrasi. Pada kata function, bunyi /f/ tetap huruf f, namun bunyi akhir –tion diganti dengan –si. Untuk kata vocal, bunyi /v/ juga tetap ditulis dengan v sedangkan bunyi akhir /cal/ ditulis dengan kal. Dengan demikian pengindonesiaannya menjadi vokal. Demikian juga standardization, hanya /z/ yang diganti dengan s dan –tion diganti dengan –si. Hasilnya standardisasi. Kata itu kita pungut secara utuh dan hanya ejaannya yang kita sesuaikan dengan ejaan bahasa indonesia. Itulah sebabnya bentuk standarisasi bukan bentuk yang benar. Kita tidak mengambil standar (dari Standard) lalu kita tambah dengan akhiran –isasi menjadi standarisasi, tetapi menindonesiakan kata inggris di atas. Karena itu, / d / pada – disasi tidak usah dihilangkan.
C.   PEMAKAIAN HURUF KAPITAL
Untuk menyatakan gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan seperti hajah, haji, nabi, sultan, kita tuliskan huruf pertamanya dengan huruf kapital (huruf besar) apabila diikuti oleh nama orang. Jadi, kata-kata itu sekaligus dengan nama yang di belakangnya dipakai sebagai nama orang.
Misalnya:   Hajah Sutini
                  Haji Mansyur
                  Nabi Adam
                  Sultan Ageng Tirtoyoso
Tetapi perhatikan tulisan berikut:
Tirtoyoso, sultan ageng Banten, digelari juga pejuang yang gigih melawan penjajah Belanda. Kata “sultan” diawali dengan huruf kecil karena tidak diikuti nama orang. Contoh lain: Tahun ini Suhada bermaksud akan naik haji.
Nama pangkat atau jabatan seperti bupati, presiden, profesor, jenderal huruf pertamanya juga ditulis dengan huruf kapital apabila kata-kata itu diikuti nama orang.
Misalnya:   Bupati Rina Iriani
                  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Profesor Samsulhadi
Jenderal Sudirman
Tetapi perhatikan pula tulisan berikut:
Siapakah bupati Karanganyar tahun 2010 ini?
Universitas Sebelas Maret awal tahun 2010 ini telah memiliki 116 profesor.
SBY baru saja dilantik menjadi presiden.
Kata nama seperti: Indonesia, Belanda diberi imbuhan me-kan, ke-an, atau di-kan kata tersebut dituliskan serangkai dengan imbuhannya dan huruf kapital pada awal kata itu diganti dengan huruf kecil.
Perhatikan contoh berikut:
Mengindonesiakan kata-kata asing itu perlu pemikiran yang cermat.
Cara seperti itu masih kebelanda-belandaan.
Kata book diindonesiakan menjadi kata buku.
Nama-nama seperti bangsa, suku, dan bahasa huruf pertamanya ditulis dengan huruf kapital.
Misalnya:
bangsa India
suku Jawa
bahasa Inggris
Bagaimana menulis singkatan gelar kesarjanaan? Menurut Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUEBIYD) nama gelar dan sapaan yang disingkatkan ditulis sebagai berikut:

Dr.             Doktor                         S.H.                Sarjana Hukum
Sdr.           Saudara                      Ny.                  Nyonya
dr.              dokter                          Ir.                     Insinyur
Prof.          Profesor                      S.S.                 Sarjana Sastra
S.E.           Sarjana Ekonomi        Suyadi, S.E.
Prof. I. Dewa Putu W                    Ch. Triastuti, S.Pd.
Coba perhatikan! Singkatan gelar S.H., S.Pd., S.E., S.S. di belakang nama dituliskan sesudah tanda koma di belakang nama itu. Gelar itu sendiri diberi titik di belakang huruf singkatannya.
Bagaimana pula penulisan singkatan untuk nama lembaga dan produk hukum? Menurut Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUEBIYD) singkatan untuk nama lembaga dan produk hukum yang disingkatkan ditulis sebagai berikut.
SMP                      Sekolah Menengah Pertama
MPR                      Majelis Permusyawaratan Rakyat
DPU                      Dinas Pekerjaan Umum
UUD                      Undang Undang Dasar
UU                         Undang Undang
SKB                       Surat Keputusan Bersama
Sebagai kata ganti atau sapaan huruf pertama kata-kata, seperti adik, kakak, saudara, paman ditulis dengan huruf kapital. Bila tidak dipakai sebagai kata sapaan ditulis dengan huruf kecil saja.
Misalnya:               Hari Jumat minggu depan Paman akan datang ke Solo.
Ini apa, Pak?
Buku Saudara sudah saya kembalikan kemarin.
Apakah Adik Totok sudah makan?
Tetapi kalau kata ganti atau sapaan langsung maka huruf pertamanya ditulis dengan huruf kecil saja.
Misalnya:               Kita harus menghormati ibu dan bapak kita.
Semua kakak dan adik saya sudah berkeluarga.
Semua bupati dan gubernur hadir dalam acara itu.



D.   MEMBEDAKAN “DI” KATA DEPAN DENGAN “DI” SEBAGAI AWALAN
Ejaan baru kita atau Ejaan yang Disempurnakan hingga sekarang ini sudah hampir empat dasawarsa atau 40 tahun dari peresmiannya pada tanggal 16 Agustus 1972. Namun, sampai hari ini kita lihat masih banyak kesalahan yang dibuat oleh pemakai bahasa ini dalam menuliskan kata atau kalimat. Kesalahan tersebut berupa penggunaan huruf kapital dan huruf kecil, penggunaan koma, titik koma, titik dua, penulisan frasa yang terpisah atau diserangkaikan masih saja kacau. Hal ini disebabkan oleh kekurangan penguasaan ejaan bagi pemakai bahasa tersebut.
Masalah ejaan sebenarnya bukan merupakan hal yang sukar. Sekali kita menguasai menuliskan kata atau kalimat dengan baik, seterusnya kita tidak akan membuat kesalahan-kesalahan. Oleh sebab itu, kita dituntut untuk memberikan perhatian yang besar terhadap cara penulisan yang benar. Tanpa mempelajari dengan sungguh-sungguh, kita tidak akan pernah menguasasianya dengan baik.
Masalah kata depan, “di” dan awalan “di”. Sampai sekarang masih banyak kita lihat kesalahan dibuat orang dalam menuliskan kata yang berawalan di- atau berkata depan di. Dalam surat-surat kabar dan majalah pun masih banyak kita temukan kesalahan, padahal mudah sekali membedakan mana bentuk di yang harus ditulis dengan terpisah dari kata yang mengikutinya dan mana bentuk di yang harus dirangkaikan.
Awalan di- hanya terdapat pada kata kerja baik kata kerja berakhiran –kan atau –I maupun tanpa akhiran-akhiran itu.
Misalnya:
Disepak, disepakkan, disepaki
Ditembak, ditembakkan, ditembaki
Kata kerja yang berawalan di- tersebut ialah semua kata yang menjadi jawab pertanyaan diapakan dia, atau diapakan benda itu. Hal ini adalah salah satu cara mengenal kata dengan awalan di-. Cara yang kedua, ialah bahwa kata-kata kerja yang berawalan di- mempunyai bentuk lawan awalan me-.
Misalnya:               disepak lawannya menyepak
disepakkan lawannya menyepakkan
disepaki lawannya menyepaki
Jadi, kalau kita ragu apakah di pada kata itu dirangkaikan, kita cobalah membentuk lawan kata itu dengan cara di atas. Apabila ada lawan bentuknya dengan awalan me-, pastilah bentuk di- pada kata itu adalah awalan dan oleh karenanya haruslah dirangkaikan.
Kata depan di memang harus ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya karena di jenis ini mempunyai kedudukan sebagai kata. Fungsinya menyatakan “tempat”. Cara mengenalnya mudah sekali. Semua kata yang menjadi jawab pertanyaan di mana pastilah kata yang mengandung kata depan di, karena itu jawaban itu harus ditulis duapatah kata yang terpisah (J.S. Badudu, 1996).
Berdasarkan penjelasan tersebut kata seperti di atas, di sana, di tepi, di sini, di belakang pun harus dituliskan terpisah sebagai dua patah kata seperti di rumah, di kebun, di sekolah, di pantai. Cara di atas untuk mengenal bentuk di tersebut kata depan ialah bahwa kata depan di itu mempunyai pasangan yaitu kata depan dari, dan ke.
Contoh:     di sini ke sini dari sini
di rumah ke rumah dari rumah
di toko ke toko dari toko
Namun demikian, ada bentuk kekecualian. Kata kepada dan daripada selalu harus dituliskan serangkai sebagai sepatah kata saja. Selanjutnya, kata kemari juga dituliskan serangkai sebagai sepatah kata karena tidak ada pasangannya di mari dan dari mari. Selain itu, kata ke luar lawan kata ke dalam harus dibedakan dari kata keluar lawan kata masuk. Bentuk kata keluar ini merupakan kata kerja.
Contoh :    Tutik keluar dari pintu samping.
Dari tadi Siti selalu memandang ke luar.
E.    PROBLEMA PARTIKEL “PUN” BAHASA INDONESIA
Dalam bahasa Indonesia terdapat tiga macam “pun”. Ketiga macam pun tersebut sebagai berikut:
Pertama, “pun” sebagai bentuk klitika, yaitu unsur yang melekat pada unsur yang lain. Dengan perkataan lain pun yang melekat pada kata yang mendahuluinya sebagai klitika. Kata-kata itu ialah: walaupun, sekalipun, biarpun, sungguhpun, kendatipun, adapun. Kata-kata seperti ini termasuk jenis kata tugas yaitu kata-kata yang berfungsi penghubung atau pengantar kalimat.
Misalnya:
Walaupun hari hujan, saya tetap akan hadir pada rapat itu.
Adapun maksud saya datang kemari ialah untuk menjelaskan perkara itu.
Kalaupun Saudara mau, ayah dan ibu Saudara tetap tidak akan mengizinkannya.
Kedua, “pun” yang berfungsi sebagai kata penuh yaitu yang bersinonim dengan kata juga. Kita perhatikan contoh kalimat berikut:
Jangankan kamu, saya pun tidak diundang pada rapat itu.
Selain siswa, guru pun akan ikut berangkat ke Sala pada tutup tahun itu.
Ketiga, “pun” yang berfungsi sebagai kata-kata yang menyatakan perlawanan. Seperti pada kata-kata meskipun, biarpun, kendatipun, sungguhpun, walaupun.
Contoh:
Berdiri pun si sakit itu tak sanggup, apalagi disuruh berjalan. (walaupun berdiri).
Diberi pun tidak mau aku menerimanya, apalagi disuruh membeli. (meskipun diberi)
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menarik simpulan bahwa pun yang dituliskan terpisah dari kata yang mendahuluinya ialah pun yang menyertai kata kerja, kata ganti, kata benda, kata sifat. Perhatikan sekali lagi contoh di bawah ini!
1)    Makan pun dia tidak mau. (makan = kata kerja)
2)    Dia pun tidak disapanya. (dia = sapaan/orang)
3)    Putih pun termasuk warna pilihanku (putih = kata sifat)
4)    Murah pun harganya aku tidak mau membeli. (murah = kata sifat)
5)    Satu sekolah pun tidak ada bangunan di daerah itu. (sekolah = kata benda)
F.    PROBLEMA GABUNGAN KATA DAN PENGULANGANNYA
Masalah pengulangan gabungan kata bawah ini ada seseorang mengajukan pertanyaan kepada saya. Mana yang benar, orang-orang tua atau orang tua-orang tua? Untuk itu perlu dijelaskan dahulu tentang kata orang tua itu. Ada dua hal, yang pertama orang tua yang berupa kata majemuk berarti “ibu bapak” dan yang kedua, frasa yang berarti “orang yang tua”. Karena kedua kata itu berbeda dengan bentuk dan maknanya, maka bentuk ulangannya pun memang harus dibedakan. Perhatikan kalimat di bawah ini!
a.    SMA Negeri X itu mengadakan pertemuan antara guru-guru dengan orang-orang tua murid.
b.    Perkumpulan PWRI Cabang Surakarta itu anggotanya hanyalah orang tua-tua.
Dengan bentuk pengulangan kata itu dalam kedua kalimat di atas, jelas kepada kita bahwa orang-orang tua murid ialah “para ibu bapak murid” , sedangkan orang tua-tua ialah orang yang sudah tua” (dalam pengertian jamak).
Pengulangan kata tua menjadi tua-tua memang menekankan pada sifat tua sebagai lawan sifat muda. Kalau dikatakan orang tua-tua atau orang muda-muda tentulah yang dimaksud bukan seorang, tetapi banyak.
Ada juga yang mengusulkan agar kata majemuk orang tua ‘ibu bapak’ sebaiknya diulang seluruhnya menjadi orang tua-orang tua. Mengapa demikian ? hal ini sesuai dengan kaidah bahasa indonesia yang berlaku bahwa kata majemuk itu merupakan satu kesatuan arti dan bentuk. Dengan demikian, kata majemuk itu merupakan satu kata. Namun, yang seperti ini menyalahi kaidah bahasa asal bahasa indonesia, yaitu bahasa melayu. Di dalam bahsa melayu, baik kata majemuk maupun kelompok kata (frasa) yang diulang hanyalah konstituen pokoknya, sedangkan pewatasnya tidak usah diulang. Misalnya:
Rumah-rumah makan bukan rumah makan-rumah makan
Meja-meja tulis bukan meja tulis-meja tulis
Namun, harus kita akui bahwa ada yang berubah dalam bahsa indonesia sehingga tidak lagi sama dengan bahasa melayu dahulu. Di dalam buku tata bahasa baku bahsa indonesia (TBBBI) yang dikeluarkan oleh pusat bahasa ada kata yang terbentuk dari dua morfem yang dituliskan serangkai seperti sepatah kata saja. Misalnya, kacamata, matahari, olahraga, saputangan, hulubalang. Kalau kata gabung itu dituliskan serangkai seperti itu, tidak lagi dipersoalkan bagaimana bentuk ulangnya sekiranya kata-kata itu akan diulang. Tentulah diulang seluruhnya, kacamata - kacamata, matahari - matahari, olahraga - olahraga, saputangan - saputangan, hulubanlang - hulubalang.
Usul agar kata-kata gabung itu ditulis serangkai akan menimbulkan kesukaran dalam dalam membaca karena terlalu banyaknya huruf yang dirangkaika. Makin panjang kata makin sukar dibaca. Misalnya, keretaapicepatmalam yang dituliskan seperti itu lebih sukar dibaca daripada yang dituliskan kata demi kata: kereta api cepat malam. Apalagi kalau diulang menjadi keretaapicepatmalam-kerataapicepatmala. Oleh karena itu, dalam bahasa melayau, yang diulang itu hanya konstituen pokoknya sehingga menjadi kereta api cepat malam.
Dalam bahasa indonesia dewasa ini, ada kecederungan orang untuk selalu mengulang kata benda bila ingin menyatakan jamak. Padahal, dalam bahasa kita ada cara lain untuk menyatakan jamak itu yaitu dengan menggunakan kata seperti semua, banyak, beberapa, segala, seluruh. Alih-alih mengatakan negara-negara kita katakan beberapa negara atau banyak negara.
Frasa adalah gabungan dua unsur atau lebih yang tidak melebihi batas fungsi. Artinya, gabungan unsur tersebut hanya menduduki fungsi tertentu, misalnya hanya sebagai subjek atau predikat saja. Bagaimana menuliskan gabungan unsur (kata) tersebut sesuai dengan aturan yang berlaku ? di dalam buku dikatakan sebagai berikut.
  1. Gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk termasuk istilah khusus, bagian-bagiannya ditulis terpisah.
Misalnya:
meja makan                            mata pelajaran
orang tua                                 kambing hitam
duta besar                               bus malam
kereta api cepat                      rumah sakit umum
Gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk seperti contoh di atas, bila diulang seluruhnya. Perhatikan beberapa contoh di bawah ini !
meja makan – meja makan
orang tua – orang tua
duta besar – duta besar
kereta api cepat – kereta api cepat
mata pelajaran – mata pelajaran
kambing hitam – kambing hitam
bus malam – bus malam
rumah sakit umum – rumah sakit umum
  1. Gabungan kata, termasuk istilah khusu, yang mungkin menimbulkan salah pengertian, dapat diberi tanda hubung untuk menegaskan pertalian diantara unsur (kata) yang bersangkutan.
Misalnya :
buku geigrafi-baru                   watt-jam
mesin-hitung tangan               anak-istri
alat pandang-dengar               ibu-bapak
Perhatikan perbedaan gabungan kata dalam kalimat di bawah ini !
a.    Anak-istri Paman semuanya sudah menikah. (yang dimaksudkan ialah anak Paman dan istri Paman).
b.    Anak istri-paman yang menjadi tanggungan Paman dua orang. (yang dimaksudkan ialah anak bawaan istrinya, yaitu anak istrinya dari suaminya yang dahulu, anak tiri Paman).
c.    Sekarang masih ada dipakai mesin-hitung tangan. (yang dimaksudkan ialah mesin untuk menghitung yang digerakkan dengan tangan, bukan listrik atau dengan alat lain).
Jadi, kalau dalam penulisan mungkin timbul makna ganda, gunakanlah garis tanda hubung untuk memperjelas makna yang dimaksudkan. Tulisan buku geografi baru dapat diartikan 1) yang itu bukunya; 2) yang baru geografinya. Kalau yang dimaksud yang petama, anda bubuhkanlah tanda hubung di antara kata yang pertama dan yang kedua (buku-geografi baru), sedangkan juka pengertian kedua yang Anda maksudkan, bubuhkanlah garis tanda hubung itu diantara ketakedua dan ketiga (buku geografi-baru).
Dari contoh diatas, dapat diketahui bahwa frasa (kata gabung) selalu harus kita tuliskan terpisah sebagai dua kata. Di depan (awalan) maupun dibelakang (akhiran) masih tetap dituliskan terpisah sebagai dua patah kata tetapi apabila frasa maka frasa (kata gabung) itu dalam bentuk baru dengan awalan dan akhiran dituliskan serangkai sebagai sepatah kata.
Perhatikan contoh di bawah ini !
Misalnya :
tanggung jawab                                   beri tahu
bertanggung jawab                             diber tahu
mempertanggungjawabkan                memeberitahukan
pertanggungjawaban                          pemberitahuan
  1. Gabungan kata yang sudah dianggap sebagai satu kata ditulis serangkai :
Misalnya :
barangkali                               apabila
silaturahmi                               bagaimana
padahal                                   matahari
daripada                                  peribahasa
kepada                                    bumiputra
bismilah                                   manakala
halalbihalal                              syahbandar
alhamdulillah                           bilamana
Ada bentuk (unsur) bahasa yang hanya muncul dalam bentuk gabungan. Maksudnya bentuk bahasa tidak pernah berdiri sendiri, tetapi selalu muncul berkombinasi dengan unsur yang lain. Bentuk seperti itu harus selalu dituliskan serangkai dengan unsur lain yang delekati itu.
Misalnya:
            caturwulan                                          politeknik
            prasangka                                           swadaya
            mahasiswa                                          pancasila
            antardesa                                            semipermanen
            tripitaka                                               internasional
            intransitif                                              ultramodern

            Kalau kata yang dilekatinya itu berhuruf awal huruf kapital, maka antara unsur gabung itu dengan kata yang dilekatinya diberi garis tanda hubung. Misalnya: pan-Afrika, non-jawa, se-Kabupaten X.