Sabtu, 31 Mei 2014

Cinta Jangan Sembunyi (17 Lyric)

Jangan kau sembunyikan hatimu untukku
Bila kau mencintai diriku ini
Jadi jangan sembunyi-sembunyi lagi
*courtesy of newlirik.com
Jangan kau tutup pintu hatimu untukku
Jika kau menyayangi diriku ini
Jadi jangan sembunyi-sembunyi lagi
Katakan kepadaku engkau mencintaiku dalam hatimu
Katakan padaku kau melihat cinta itu
Tunjukkan kepadaku rasa yang kau miliki dalam hatimu
Tunjukkan padaku, ku di sini menunggu cintamu
Jangan kau tutup pintu hatimu untukku
Jika kau menyayangi diriku ini
Jadi jangan sembunyi-sembunyi lagi
Katakan kepadaku engkau mencintaiku dalam hatimu
Katakan padaku kau melihat cinta itu
Tunjukkan kepadaku rasa yang kau miliki dalam hatimu
Tunjukkan padaku, ku di sini menunggu cintamu
Katakan kepadaku engkau mencintaiku dalam hatimu
Katakan padaku kau melihat cinta itu
Tunjukkan kepadaku rasa yang kau miliki dalam hatimu
Tunjukkan padaku, ku di sini menunggu cintamu
(katakan kepadaku engkau mencintaiku dalam hatimu
Katakan padaku kau melihat cinta itu)
Oh tunjukkan kepadaku rasa yang kau miliki dalam hatimu
Tunjukkan padaku, ku di sini menunggu cintamu


Jumat, 30 Mei 2014

Tersembunyi

Bismillah….
Saya mungkin tipe yang ‘mengumbar2′… Ingin sekali saya mengumumkan kepada dunia ketka saya benar-benar sedang di’mabuk cinta’.. Saya utarakan ini kepada orang yang saya maksud dengan cara yang (menurut saya) paling tepat dan juga di blog… Sengaja tidak saya umumkan siapa wanita ini sebenarnya.
Karena jujur saya harus berhati-hati karena ini bersangkutan dua orang dengan dua lingkungan dan latar belakang berbeda.. Saya tidak mau jika termyata finalnya kami tidak bersama, kelak akan ‘mempersulit’ kelancaran datangnya kesempatan untuknya kelak…
Jadi jika saya ‘merahasiakan’nya.. Alasannya bukan karena saya takut malu, takut di-hina, takut cupu atau gengsi…. sama sekali bukan…

Tapi karena ingin membahagiakan orang yang saya cintai.. Tapi yaaa, pemahaman orang tentang hakikat cinta berbeda-beda.. Yang pasti di kala cinta ‘utama’ saya pada Sang Kekasih tetap terjaga, maka cinta saya ‘yang lain’ tidak akan membuat saya ’sakit’ walau luka itu ada…. 
Wallahu’alam.. ^_^

Kamis, 29 Mei 2014

Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata (Kompas)

BERSIAP KECEWA BERSEDIH TANPA KATA-KATA
Aku menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu jam kemudian aku belum berhasil memilih. Tak ada yang mantap. Penjaga toko itu sampai bosan menyapa dan memujikan dagangannya.
Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang perempuan menyapa.
”Mencari bunga untuk apa Pak?”
Aku menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 25 tahun. Atau mungkin kurang dari itu.
”Bunga untuk ulang tahun.”
”Yang harganya sekitar berapa Pak?”
”Harga tak jadi soal.”
”Bagaimana kalau ini?”
Ia memberi isyarat supaya aku mengikuti.
”Itu?”
Ia menunjuk ke sebuah rangkain bunga tulip dan mawar berwarna pastel. Bunga yang sudah beberapa kali aku lewati dan sama sekali tak menarik perhatianku.
”Itu saya sendiri yang merangkainya.”
Mendadak bunga yang semula tak aku lihat sebelah mata itu berubah. Tolol kalau aku tidak menyambarnya. Langsung aku mengangguk.
”Ya, ini yang aku cari.’
Dia mengangguk senang.
”Mau diantar atau dibawa sendiri?”
”Bawa sendiri saja. Tapi berapa duit?”
Ia kelihatan bimbang.
”Berapa duit.”
”Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau nanti saya bikinkan lagi.”
”Tidak, aku mau ini.”
”Bagaimana kalau itu?”
Ia menunjuk ke bunga lain.
”Tidak. Ini!”
”Tapi itu tak dijual.”
”Kenapa?”
”Karena dibuat bukan untuk dijual.”
Aku ketawa.
”Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda.
”Dua.”
”Dua apa?”
”Dua juta.”
Aku melongo. Mana mungkin ada bunga berharga dua juta. Dan bunga itu jadi semakin indah. Aku mulai penasaran.
”Jadi, benar-benar tidak dijual?”
”Tidak.”
Aku pandangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk lagi bunga yang lain.
”Bagaimana kalau itu?”
Aku sama sekali tak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa isinya. Kukeluarkan semua. Hanya 900 ratus ribu. Jauh dari harga. Tapi aku taruh di atas meja berikut uang receh logam.
Dia tercengang.
”Bapak mau beli?”
”Ya. Tapi aku hanya punya 900 ribu. Itu juga berarti aku harus jalan kaki pulang. Aku tidak mengerti bunga. Tapi aku menghargai perasaanmu yang merangkainya. Aku merasakan kelembutannya, tapi juga ketegasan dan kegairahan dalam karyamu itu. Aku mau beli bunga kamu yang tak dijual ini.”
Dia berpikir. Setelah itu menyerah.
”Ya, sudah, Bapak ambil saja. Bapak perlu duit berapa untuk pulang?”
Aku terpesona tak percaya.
”Bapak perlu berapa duit untuk ongkos pulang?”
”Duapuluh ribu cukup.”
”Rumah Bapak di mana?”
”Cirendeu.”
”Cirendeu kan jauh?”
”Memang, tapi dilewati angkot.”
”Bapak mau naik angkot bawa bunga yang aku rangkai?”
”Habis, naik apa lagi?”
”Tapi angkot?”
”Apa salahnya. Bunga yang sebagus itu tidak akan berubah meskipun naik gerobak.”
”Bukan begitu.”
”O, kamu tersinggung bunga kamu dibawa angkot? Kalau begitu aku jalan kaki saja.”
”Bapak mau jalan kaki bawa bunga?”
”Ya, hitung-hitung olahraga.”
Dia menatap tajam.
”Bapak bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 untuk ongkos taksi.”
Aku tercengang.
”Kurang?”
“Tidak. Itu bukan hanya cukup untuk naik Blue Bird, tapi juga cukup untuk makan double BB di BK PIM.”
Dia tersenyum. Cantik sekali.
”Silakan. Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?”
”Tidak.”
Dia berpikir.
”Jadi, bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai untuk diberikan pada seseorang.”
”Memang. Untuk diberikan pada seseorang.”
”Yang dicintai mestinya.”
”Ya. Jelas!”
”Sebaiknya, Bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya rangkai untuk diantar dengan ucapan. Diambil dari puisi siapa begitu yang terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.”
Aku terpesona lalu mengangguk.
”Setuju. Tapi tolong dicarikan puisinya dan sekaligus dituliskan.”
Ia cepat ke belakang mejanya mengambil kartu.
”Sebaiknya Bapak saja yang menulis.”
”Tidak. Kamu.”
Ia tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan sajak. Aku menolak.
”Kamu saja yang memilih.”
”Tapi, saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.”
”Pokoknya yang bagus. Yang positip.”
”Cinta, persahabatan, atau sayang?”
”Semuanya.”
Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hapal di luar kepala isi buku itu. Ketika ia menunjukkan tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan sajak Gibran, tapi kalimat yang ditarik dari sajak Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad:
”Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.”
Aku terharu. Pantas Nelson Mandela mengaku mendapat inspirasi untuk bertahan selama 26 tahun di penjara Robben karena puisi.
”Bagus?”
Aku tiba-tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan sangat memalukan. Cepat-cepat kuhapus.
”Saya juga sering menangis membacanya, Pak.”
”Ya?”
”Ya. Tapi sebaiknya Bapak tandatangani sekarang, nanti lupa.”
Aku menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya.
”Kamu saja yang tanda tangan.”
”Kenapa saya?”
”Kan kamu yang tadi menulis.”
”Tapi itu untuk Bapak.”
”Ya memang.”
Ia bingung.
”Kamu tidak mau menandatangani apa yang sudah kamu tulis?”
”Tapi, saya menulis itu untuk Bapak.”
”Makanya!”
Ia kembali bingung.
”Kamu tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?”
Dia bengong.
”Aku memang tak pantas diberi ucapan selamat.”
”Jadi, bunga ini untuk Bapak?”
”Ya.”
”Bapak membelinya untuk Bapak sendiri?”
”Ya. Apa salahnya?”
”Bapak yang ulang tahun?”
”Ya.”
Dia menatapku tak percaya.
”Kenapa?”
”Mestinya mereka yang yang mengirimkan bunga untuk Bapak.”
”Mereka siapa?”
”Ya, keluarga Bapak. Teman-teman Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau pacar Bapak…”
”Mereka terlalu sibuk.”
”Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.”
”Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku sendiri dan ucapkan selamat untuk diriku sendiri karena kau juga tidak mau!”
Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku ambil bunga itu.
”Terima kasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900 ribu.”
Aku tersenyum untuk meyakinkan dia bahwa aku tak marah. Percakapan kami tadi terlalu indah. Bunga itu hanya bonusnya. Aku sudah mendapat hadiah ulang tahun yang lain dari yang lain.
Tapi sebelum aku keluar pintu toko, dia menyusul.
”Ini uang Bapak,” katanya memasukkan uang ke kantung bajuku sambil meraih bunga dari tanganku, ”Bapak simpan saja.”
”Kenapa? Kan sudah aku beli?”
Aku raih bunga itu lagi, tapi dia mengelak.
”Tidak perlu dibeli. Ini hadiah dariku untuk Bapak. Dan aku mau ngantar Bapak pulang. Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku.”
Dia menunjuk ke sebuah Ferrari merah yang seperti nyengir di depan toko.
”Aku pemilik toko ini.”
Aku terkejut. Sejak itulah hidupku berubah.
Kumpulan Cerpen Kompas


Pemanggil Bidadari (Cerpen Kompas)

PEMANGGIL BIDADARI
Kenangan itu seperti kotak-kotak kardus yang berserak. Seperti saat ini ketika kumasuki desa tempat Simbah Ibu tinggal.
Batu-batu jalan setapak seperti memuntahkan kembali rindu yang tiba-tiba mencuat seperti kancing yang lepas begitu saja dari baju seragam anak sekolah. Ketika kumasuki desa itu, malam mulai merapat pada warna jingga di cakrawala. Malam yang selalu menakutkan bagi anak-anak ketika ibu mereka memberi warna hitam pada sebuah hari di mana matahari sedang penat menampakkan cahayanya. Malam pada akhirnya selalu menjadi kutukan. Tak ada satu pun yang menyukai malam di desa itu, hanya Simbah Ibulah yang selalu menyukai waktu di mana semua pekat menjadi penguasa sebuah hari dan sunyi.
Aku tidak tahu sejak kapan aku panggil perempuan itu Simbah Ibu. Perempuan dengan guratan waktu yang penuh pada wajah berhamburan seribu damai di tiap kedip matanya yang bercahaya. Mata yang sebening cinta. Mata yang memberiku keberanian memberi makna kesetiaan utuh pada Semesta. Mata itu benar-benar mengajariku menjadi utuh, menjadi perempuan. Karena hanya menjadi utuh, seorang perempuan akan melahirkan anak-anak yang bahagia. Mata itu memberiku nama Ratri.
”Mbah, mengapa namaku Ratri?”
”Karena kamu lahir pada sebuah malam yang penuh dengan pekat. Kepekatan yang mengerikan. Kepekatan yang begitu banyak melahirkan kesedihan. Malam yang membuat cinta berubah menjadi peluh birahi pada hati yang kosong.”
Perempuan renta itulah yang selalu mengajariku mencintai malam. Setiap malam dikecupnya pelan-pelan lelapku dan dengan lembut diajaknya aku keluar melihat bintang. ”Mari Nduk, kita berburu Bidadari”. Entah kenapa kata-kata itu selalu manjur membuat mataku langsung terbelalak gembira. Diajaknya aku ke halaman rumah tanpa alas kaki dan diajarkannya ritual ”memanggil Bidadari” itu padaku.
Pada awalnya tangan kami terkatup di depan dada. Mata kami perlahan terpejam dan mulai merasakan desir angin bergerisik di antara daun-daun kering. Suara gemerisik itu kadang seperti bisikan kesedihan yang entah dari mana datangnya. Entah kekuatan dari mana tangan kaki kami berdentam ke tanah dan seperti sebuah orkestra raksasa hati kami berdegup tak kuasa untuk menolak musik yang begitu saja menyeruak dari dada. Simbah Ibu dengan gemulai mulai meliukkan tubuhnya dan dengan perlahan penuh harap Bidadari akan segera turun. Aku ikuti gerakan itu. Gerakan pemanggil Bidadari, begitu Simbah Ibu menyebutnya.
”Mengapa kita memanggil Bidadari?”
”Karena jika Bidadari-Bidadari turun, maka desa kita menjadi damai. Para Bidadari itu akan masuk ke rumah-rumah dan menyebarkan bubuk bahagia pada mimpi orang-orang yang terlelap. Jadi ketika orang-orang itu bangun, tanpa mereka sadari mereka sudah membawa bubuk bahagia itu di dalam darahnya. Jika mereka bahagia mereka akan kuat. Hanya merasa bahagia yang akan melahirkan kekuatan. Sehingga mereka akan berusaha sekuat tenaga mengejar mimpi mereka dalam hari-harinya dengan kekuatan itu.”
Benar saja, seperempat jam kami meliukkan tubuh dengan diiringi musik dari hati kami serta mantra syahdu yang begitu lembut keluar dari tubuh rapuhnya. Tak lama kemudian dari angkasa turun beribu-ribu cahaya. Seulas senyum ada disudut wajahnya yang penuh dengan guratan-guratan waktu.
”Mungkin salah satu Bidadari itu ibumu, Nduk. ”
Seperti sihir, kata itu mampu selalu memberi terang sebenderangnya dalam hatiku. Terang yang mampu melahirkan gambar perempuan dengan panggilan Ibu. Sejak aku lahir perempuan itu tidak pernah aku sentuh. Konon, satu-satunya anak perempuan Simbah Ibu itu meninggal ketika aku lahir dan bapakku menjadi gila terus menghilang entah di mana. Mungkin itu sebabnya perempuan tua itu kupanggil Simbah Ibu, Karena hanya dia perempuan yang bisa kupanggil ibu.
Ketika mantra selesai, Simbah Ibu menengadahkan tangannya ke atas dan berserulah dia dengan penuh cinta ke angkasa. Dalam sekejap cahaya-cahaya yang bergemuruh datang seperti hujan meteor menembus pekatnya malam. Cahaya- cahaya itu berhamburan masuk ke rumah-rumah penduduk. Setiap rumah yang dimasuki cahaya itu selalu memancarkan sinar benderang luar biasa. Kami percaya itulah cahaya jelmaan bidadari. Saat Bidadari-Bidadari turun di mataku adalah waktu di mana lukisan terindah sedang dilukis oleh Maha Cinta. Karena angkasa menjadi begitu banyak berwarna. Warna dari mimpi yang melahirkan cinta.
Sekitar jam 3 pagi cahaya-cahaya itu kembali ke angkasa dan menghilang dalam pekat. Dengan kelegaan luar biasa Simbah Ibu selalu mengajakku bersujud mencium bumi sebagai tanda rasa syukur luar biasa karena para Bidadari telah sudi turun membagi cahaya dari Maha Cahaya kepada penduduk desa kami. Bumi seperti mengerti, setiap kami selesai bersujud maka beribu kunang-kunang berhamburan entah dari mana datangnya mengerumuni kami dan aku percaya kunang-kunang itu dihadiahkan para Bidadari untuk memberi senyuman pada wajahku karena konon pada roh-roh suci selalu menjelma menjadi kunang-kunang. Aku begitu yakin kunang-kunang adalah cara roh suci ibuku berbicara padaku. Ya, harum tubuh ibuku di antara kunang-kunang yang menari di antara malam dengan pekat yang hebat…
Setiap pagi penduduk desaku bangun dengan wajah gemerlap penuh cahaya yang menyemburat dari dalam dada mereka. Mereka tidak tahu bahwa setiap malam Bidadari-Bidadari penghuni sorga turun menebarkan serbuk cahaya pada mimpi mereka. Demikianlah di desa kami yang sangat sederhana itu setiap malam kami memanggil Bidadari-Bidadari itu karena Simbah Ibu yakin jika rahim-rahim merah muda penduduk desa kami bahagia maka bayi-bayi yang akan lelap di dalamnya akan menjadi bayi yang penuh dengan cinta di dadanya. Jadi ketika mereka nanti lahir maka dunia akan penuh dengan cinta karena bayi-bayi itu akan terus memancarkan detak jantung yang memompa cinta ke seluruh jaringan nadinya.
Setiap malam meskipun desa kami tak punya listrik, desa kami selalu benderang dengan cahaya Bidadari-Bidadari yang turun. Malam-malam yang sangat membahagiakan. Kemana pun kami pergi, para penduduk selalu memberi senyum tulus tak terhingga kepada kami, Pemanggil Bidadari, begitu mereka menyebut kami. Betul, ilmu memanggil Bidadari itu memang telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyangku. Hanya keluargaku yang memiliki ilmu itu.
Hingga satu hari entah karena terlalu renta atau karena memang sudah saatnya, Simbah Ibu pergi menemui Maha Cahaya. Sejak itu duniaku benar-benar gulita. Meskipun sebelum pergi Simbah Ibu sangat mewanti-wanti untuk tetap meneruskan memanggil Bidadari di setiap malam, pesan itu tak pernah kujalankan. Aku begitu marah luar biasa, tidak tahu kepada siapa. Setiap malam aku memilih tidur untuk melupa kerinduanku pada Simbah Ibu dari pada memanggil Bidadari untuk desaku. Demikianlah sejak Simbah Ibu pergi, tak ada lagi yang memanggil Bidadari. Tentu saja akibatnya malam semakin membuat kelam desaku. Tak ada satu pun cahaya yang memancar di atap-atap rumah penduduk. Tak ada serbuk cahaya yang menaburkan cinta pada mimpi-mimpi mereka. Akibatnya setiap pagi orang-orang menjadi kekeringan oleh cinta karena pada darahnya tak lagi mengalir bahagia. Hidup menjadi penuh kekhawatiran karena orang-orang tak lagi mau bermimpi. Mereka takut untuk bermimpi. Mereka menjadi lemah. Tak ada lagi kekuatan untuk mengejar mimpi. Banyak penduduk desaku yang akhirnya meninggal karena mereka memilih itu dari pada hidup tanpa mimpi. Aku tak tahan dengan pemandangan itu. Hingga pada satu pagi yang masih menyisakan pekat yang sepekat-pekatnya kutinggalkan desaku. Demikianlah keturunan terakhir pemanggil Bidadari tak lagi berada di desa itu.
Bertahun-tahun kutinggalkan desaku, tanpa kenangan sedikit pun. Setiap kali ingatan tentang Simbah Ibu dan desaku yang penuh cahaya Bidadari itu muncul, buru-buru aku bunuh dengan minuman atau obat yang membuatku terlelap sedalam-dalamnya dalam mimpi tanpa matahari. Hatiku tak lagi mampu merasakan apa pun. Meskipun kata orang-orang kecantikanku mampu membuat tulang di leher para lelaki bergerak tetapi tak sedikit pun aku mampu merasakan detak dalam hatiku, orkestra itu telah mati. Senyum tak ada lagi ada dalam mataku. Orkestra itu telah pergi bersama kepergian Simbah Ibu. Kesedihan yang tak bisa dieja oleh huruf paling purba sekalipun. Aku pilih pekerjaan yang membuatku selalu harus berjalan ke segala pelosok dunia untuk melupa. Tapi ingatan adalah sebuah luka yang sangat menyakitkan. Hingga suatu hari aku menyerah pada kesedihanku. Rindu yang tak tertahan luar biasa membuatku melolong berhari-hari tanpa henti. Kupanggil berkali-kali perempuan bermata sorga itu. Aku benar-benar rindu memanggil Bidadari. Aku rindu kunang-kunang yang keluar dari bumi. Aku rindu ibuku. Aku rindu malam. Aku rindu bersujud pada bumi. Aku rindu melihat wajah-wajah bahagia di desaku. Aku rindu Hidup. Pada tahun ke 9 tepat setelah kematian Simbah Ibu aku putuskan kembali ke desaku.
***
Rumah Simbah Ibu tetap sama dengan waktu aku tinggalkan dulu. Wasino tukang kebun kami yang sekarang sudah begitu renta masih tetap setia merawat rumah itu. Foto-foto yang mulai pudar warnanya tetap melekat pada dinding kamar. Ingatan memang sangat kurang ajar, karena hanya ingatan yang mampu mengubah waktu dalam sekejap. Seperti kembali di mana bau rokok klembak Simbah Ibu bercampur melati yang keluar dari sanggulnya menjadi bau yang selalu aku rindukan setiap kali pulang sekolah. Aku begitu rindu luar biasa pada perempuan itu. Penduduk desaku silih berganti datang mengucapkan selamat datang. Wajah-wajah mereka begitu penuh dengan rasa lelah luar biasa. Entah kapan terakhir mereka merasa bahagia. Wajah-wajah itu begitu berharap aku kembali memanggil Bidadari untuk mereka. Tetap mulut mereka membisu. Mereka takut berharap karena hanya harapan yang melahirkan luka. Untuk pertama kalinya sejak 9 tahun ini aku sangat merasa bersalah pada Simbah Ibu karena berhenti memanggil Bidadari. Aku melolong sejadi-jadinya karena rasa sesal itu begitu tak tertahankan. Aku putuskan malam ini aku kupanggil Bidadari kembali.
Benar saja, tepat jam 12 malam kulakukan kembali ritual yang dulu selalu kulakukan bersama Simbah Ibu. Mungkin karena memang darahku adalah darah pemanggil Bidadari tak lama kemudian langit seperti benderang siang, Cahaya-cahaya yang selalu kurindukan itu turun seperti hujan yang meruah dari angkasa. Dadaku kembali berdentam dan orkestra di dalamnya mulai berbunyi. Para Bidadari kembali menaburkan cahaya pada mimpi-mimpi. Orang tanpa mimpi lebih dahulu mati daripada kematian itu sendiri. Airmataku tak henti-henti keluar, tapi aku tahu ini bukan airmata kesedihan tapi airmata dengan cahaya yang keluar dari dadaku. Serbuk bahagia dari para Bidadari itu mengalir juga ternyata dalam mimpiku. Kunang-kunang kembali berhamburan bahkan sebelum aku bersujud ke bumi. Kunang-kunang yang pasti di antaranya juga ada roh suci Simbah Ibu itu seperti mengerti bahwa aku mulai mengisi darahku kembali dengan mimpi karena hanya mimpi yang mampu meneruskan hidup. Karena mimpi adalah kekuatan.

Kumpulan Cerpen Kompas

Hujan Yang Indah

HUJAN YANG INDAH
Jika Anda orang yang menyukai hujan, datanglah ke kotaku. Di sini dapat Anda saksikan hujan yang indah bak lukisan.
Aku tidak bohong. Di sini hujan turun seperti gadis kecil yang pemalu, tetapi selalu riang. Kadang kala kubayangkan hujan mengetuk-ngetuk bumi dengan kaki-kaki gadis kecil yang menari kian kemari. Aspal, trotoar, dan pepohonan basah tapi ceria turut menari bersama.
Di sini hujan sering turun dan, uniknya, hampir selalu hanya berupa gerimis. Sesekali saja terjadi hujan lebat dengan angin ribut atau geledek membentak-bentak di angkasa.
Apabila hujan turun, aku paling suka duduk dekat jendela sambil melipat tangan di meja. Kulayangkan pandangan ke luar sambil menyimak ketukan air tempias ke kaca. Dari jendela tampak dinding-dinding dan atap bangunan kuno di seberang jalan. Dalam kondisi kering, tembok dan atapnya tampak kelabu terang, tapi setelah dibasahi hujan, warnanya menggelap dan terlihat misterius, seakan-akan di dalam gedung itu ada makhluk-makhluk gaib yang bergentayangan. Pada bagian tertentu meruap juga nuansa merah bata yang asli, meski tidak mencolok. Bangunan itu ada sebelum aku dilahirkan dan seingat aku bentuknya tidak pernah diubah oleh pemiliknya.
Selain itu, yang kuintai manakala hujan tengah mempersembahkan baktinya kepada bumi adalah angkasa kelabu yang menggigil dan memuncratkan seluruh embun yang menggenangi permukaannya kepada bentang alam yang telentang pasrah. Pernah aku membayangkan langit sebagai dada perempuan yang berdegup dengan suasana batin seorang ibu yang prihatin dan bersedih. Dada yang subur. Dada yang telanjang, tetapi sensualitasnya terselubung oleh uap samar yang menenangkan. Kemudian dada itu berpeluh. Peluh yang menyembul melalui pori-pori dan melapisi kulitnya yang halus dengan genangan embun bening menebal. Ketika angin menepuk dada itu, genangan itu luruh menjadi hujan.
Aku pernah mengungkapkan gambaran tersebut kepada seorang teman, tetapi dia mencibir seraya berujar, ”Bukankah seharusnya dada memuncratkan air susu? Mengapa keringat? Lalu di mana keindahannya? Ada-ada saja kamu ini. Air susu adalah metafora bagi cinta seorang ibu. Mestinya kamu tahu, sengawur apa pun imajinasi, sepatutnya diperkuat logika—mungkin dalam ketidakmungkinannya.”
”Haruskah begitu?”
Dia tertawa, kemudian dengan gaya merenung yang dibuat-buat dia bersabda, ”Kamu ini naif sekali. Bergaya penyair, tapi tidak paham perkara remeh seperti itu.”
”Aku tidak bermaksud bergaya penyair.”
Temanku tersenyum dan kupikir itu senyuman orang jahat. Agar tidak menambah kesan jahat pada dirinya, aku tidak pernah lagi mengungkapkan apa pun yang melintas di benakku sebagai apa yang dia istilahkan ”buah imajinasi”. Anehnya, setelah hijrah ke luar negeri, dia lebih sering bertanya soal hujan kepadaku lewat telepon, pesan singkat, dan surat elektronik. Aku hanya menjawab sekenanya. Kemudian dia memprotes.
Protes itu dia lontarkan dalam obrolan via internet. Saat itu matahari tengah memancarkan cahayanya dengan murah hati. Akhir pekan yang cerah. Terlalu cerah malah.
”Dulu kamu sering berkomentar tentang hujan. Kau bilang indahlah, romantislah, begini, begitu. Sekarang kenapa kering ungkapanmu? Apakah sudah jelek hujan di sana sekarang?”
Uh, sinis sekali.
”Hujannya tetap seperti dulu.”
”Lalu?”
”Aku tidak bisa ceritakan. Kalau kamu mau tahu, pulanglah dan saksikan sendiri. Tak bisa kamu mencerap keindahan hanya lewat komentar orang lain.”
”Wah, hebatnya!”
”Salah sendiri, bertanya soal hujan pada saat matahari bersinar terang.”
”Oh, di sana cerah sekarang?”
”Ya.”
”Di sini beku. Kami dikepung salju seminggu penuh!”
Lambat laun kami semakin jarang berkomunikasi. Mungkin dia sibuk. Aku sendiri sibuk, ditambah kehadiran perempuan yang menjadi ibu bagi putra-putriku. Selanjutnya anak-anak mempersembahkan cucu-cucu untuk kami. Kawanku yang kadang-kadang menyebalkan itu tidak pernah mudik dan tanpa kabar lagi.
Kebiasaanku menikmati hujan tidak pernah berubah, meski tidak sesering dulu. Mungkin intensitas penikmatannya pun tidak sedalam dulu, entahlah. Sesekali aku masih keluar rumah ketika gerimis mulai turun, yang menimbulkan kejengkelan anak bungsuku dan menantu yang tinggal serumah dengan kami. Istriku sendiri tidak banyak cakap. Kukira dia sudah tahu tidak ada gunanya melarang aku menikmati hujan.
”Kalau Papa sakit bagaimana? Sudah tua masih suka keluyuran dalam hujan. Ini payung dan jas hujan.”
Kecerewetannya sungguh menjengkelkan.
”Apakah dulu aku pernah melarang kamu dan kakak-kakakmu berhujan-hujan?” begitulah aku pernah mengomel. Menantuku mundur dengan bijaksana, tapi putriku pantang menyerah.
”Iya. Malah dulu Papa cerewet sekali.”
”Apa iya?”
”Iya.”
Aku mengalah. Kuterima jas hujan parasut yang panjang selutut itu.
”Ini payungnya, Pa.”
”Tidak usah.”
Sempat kudengar gerutu putriku ketika aku membuka pintu dan melangkah, menyentuh tirai gerimis, ”Dasar keras kepala.”
***
Itu dulu, sebelum datang tahun-tahun yang ganjil ini.
Pada awal tahun masih kukagumi Januari dan Februari sebagaimana biasa, tapi bulan demi bulan berlalu dan genangan air mulai terbentuk di sudut-sudut kota, bantaran sungai, bahkan hingga di tengah kota. Kendaraan-kendaraan seperti berenang akibat banjir. Kini hujan bukan lagi sekadar gerimis yang menggemaskan bagai kanak-kanak, melainkan berupa curahan air terjun disertai petir dan angin ribut.
Sepanjang hari langit gelap dan mendung selalu mengurung berupa gumpalan-gumpalan hitam yang menakutkan. Aku tidak lagi berminat keluar rumah apabila hujan mulai tercurah. Yang kulakukan hanya duduk mematung di sisi jendela sambil membayangkan masa lalu yang tidak akan kembali. Walaupun demikian, aku tidak ingin berubah pikiran hanya karena perubahan iklim. Aku ingin mengenang hujan yang indah dalam benakku.
Tiba-tiba, petir membahana. Jantungku nyaris copot. Lantas atap berderak diterpa angin.
”Pakai mantel ini, Kek,” bisik cucuku dengan lembut. Senyumnya teduh. Sebentar lagi dia akan menikah. Alangkah cepat waktu berlalu. Kurasakan kantong mataku memberat.
Ketika mantel yang tebal dan lembut menyentuh kulitku, barulah aku menyadari bahwa aku menggigil kedinginan sejak tadi.

Kumpulan Cerpen Kompas

Sabtu, 24 Mei 2014

Puisi Religi

KEPADA-MU
Oleh : Mohammad Irfani
Bandar, 24 Mei 2014

Hilang,
Hari-hariku terbuang
keinginan yang ternoda nafsu
kekerasan hati tak indahkan tegurMu
Langkahku terlampau tanpa makna
Berlaku seenak kepala

Kini rentang masa mulai terasa,
di sudut penyesalan aku tersadar,
mata terbuka saat menggali jati diri 
terlelap di tengah keindahan duniawi
Betapa tololnya aku di depanMu
sungguh hina aku menjadi hambaMu
Kau anugerahkan untukku sepenuhnya
Namun  aku salah membawanya

Ya Allah, terimalah pengakuanku
Mohon ampun segala dosa
Hantarkan aku ke singgasana surga
Habiskan rasa angkuh di jiwa
Hanya  padaMu kuberserah
Jadikan aku pribadi yang beristiqomah

Sesungguhnya hanya padaMu aku berpasrah

Puisi Untuk Pemimpin

KRISIS MORAL

Oleh : Mohammad Irfani
23 Mei 2014

Setelah kemarin sempat dihantam krisis moneter
kini melahirkan krisis multidemensi moral
Meski kita telah berjuang untuk bangkit
ketika negeri sebelah sudah mulai bangkit,
sungguh sayang,
sampai detik ini kita masih harus berjuang menggapai keadilan

Diantara kita,
banyak juga orang yang masih bisa
menikmati ekonomi berkecukupan
duduk di kursi jabatan
sehingga mereka terasa nyaman dan mapan
hidup mereka  bergelimang harta
padahal ekonomi rakyatnya sengsara
kehidupannya penuh dengan kemuliaan
di tengah penduduk yang kesulitan

Kesenjangan ekonomi jelas terlihat di negeri ini
yang kaya bisa hidup laksana surga
yang miskin hidup penuh kesengsaraan dunia
orang kaya semakin berkuasa
yang miskin dianggap nista

Kami tersentak dalam tangisan
Terpaku dalam kebimbangan
Seperti itukah yang mereka rasakan
Namun kau pura-pura tak tau
Bisu dalam keramaian tangisan

Dengarkan kami wahai penguasa
Rakyat yang dulu kau puja
Sekarang mati terhina

bungkam di tanganmu
Teraniaya oleh sikapmu
Bara api telah tertanam dalam jiwa kami
Apa yang kau lakukan
Tak seperti yang kau ucapkan

Selasa, 13 Mei 2014

Pro Kontra Tunjangan Sertifikasi Guru

Pro Kontra Sertifikasi Guru

Apakah program sertifikasi guru bisa meningkatkan kualitas sekaligus kesejahteraan guru? Berikut komentar teman-teman kita:

Anis: Disambut sinis
Program sertifikasi guru banyak disambut sinis para guru, serta membuka peluang penyimpangan dengan uang pelicin bagi yang ambisius.

Riadi: Kesejahteraan yaKalau untuk mengangkat mutu belum, tapi untuk kesejahteraan ya.

Umbul: Guru harus berkualitas
Ya kembali pada individunya, tanpa sertifikasi brkt (?) kesejahteraannya, sudah seharusnya seorang guru harus berusaha selalu berkualitas.

Indah: Uji kompetensi saja
Kalau ditepati bisa meningkatkan kesejahteraan. Program sertifikasi melalui portofolio kurang meningkatkan (kualitas guru), lebih baik lewat uji kompetensi. Masa kerja pun belum menjamin profesionalitas guru.
Kun Kristono: gak akan efektif
Dimana suatu sistem pemerintahan masih bertumpu pada finansial, ras dan family recruet, maka tetep gak akan efektif bahkan akan semakin terpuruk. Di satu sisi mau mensejahterakan (guru), di sisi lain kebutuhan hidup seperti deret ukur. Sebaiknya jika guru mempunyai kelebihan atau berprestasi dengan bukti konkrit baru diberi tunjangan profesi.

Sri Muji Wahyuti: asal harga sembako tidak naik
Guru merupakan ujung tombak peningkatan proses pendidikan sekaligus agen pembelajaran di dalam kelas. Secara resmi pemerintah telah mencanangkan bahwa profesi guru disejajarkan dengan profesi lain sebagai tenaga profesional untuk meningkatkan pendidikan. Pengakuan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan melalui uji sertifikasi dengan tujuan menentukan kelayakan, meningkatkan proses dan hasil pendidikan serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalitas guru.
Andai guru yang sudah mendapat sertifikasi menerima gaji sesuai dengan UU Guru dan Dosen tidak dibarengi dengan lonjakan harga sembako, maka saya yakin kesejahteraan guru akan meningkat. Tetapi dengan sertifikasi saya kira belum menjamin akan ada peningkatan kerja guru karena kerja guru dipengaruhi beberapa faktor, tapi andai kata guru profesional pastilah sertifikasi akan memacu kinerjanya.

Sunarin: Wong gede gendakan
Tidak bisa, tidak ada anggaran. Hidup ibarat lingkaran setan, wong gede-gede podo gendakan.

Mujiyono: Jangan kaget!
Memang saatnya guru diperhatikan. Namun langkah ini baru awal, tentu ada evaluasi dan tindak lanjut. Maka profesionalisme nanti benar-benar akan dilaksanakan. Ini baru peralihan, jelas ada korban. Mungkin langkah awal ini sebagai penghargaan yang masa kerjanya lama, nanti jelas ada langkah lanjut. Jangan kaget ya!
Saya belum tahu persis strategi di balik itu, sebab kemungkinan ada langkah lanjut. Maka guru yang berkualitas nanti akan survival. Bisa terjadi nanti guru yang 6 tahun tidak naik pangkat akan di drop, karena wajib buat karya ilmiah tiap jenjang pangkat. Tunggu saja perubahan karena kenaikan gaji, tuntutan (kebutuhan hidup) akan naik.

Mulyono: Syarat S1
Ya jelas, mau tidak mau syarat utama S1, sedangkan masih banyak (guru) yang belum S1, sedangkan yang S1 harus aktif agar memperoleh nilai yang cukup.

Ali Fauzi:
Tentu bermanfaat dalam segala hal.

Pujo: Setuju uji kompetensi
Untuk peningkatan kualitas, kayaknya masih perlu dipertanyakan karena dengan sistem portofolio tingkat originalitasnya perlu dipertanyakan. Saya lebih setuju pakai uji kompetensi. Kalau peningkatan kesejahteraan ya jelas bertambah.

Darobi:
Kualitas? Kesejahteraan oke.

Sendi: beli core duo
Ya, lah! Guru bisa beli laptop core duo, bisa bayar pulsa internet, beli buku ilmu pengetahuan, dll hingga lebih berbudaya dan semangat dalam pembelajaran! Kalau ada yang nyeleneh paling juga 10%, itupun guru-guru tua yang 1-2tahun lagi pensiun. Lima tahun ke depan oke dah.

Lely Suprihatin: tergantung good will
Kayaknya bisa (meningkatkan kualitas), masalah kesejahteraan tergantung good willusernya.

Isti Woro: ada kesenjangan
Belum menjamin, malah mungkin muncul dampak bagi guru yang belum terjaring karena ada kesenjangan kesejahteraan yang jauh. Padahal tidak gampang lolos sertifikasi kan?

Nur Aminudin: Yang dituju hanya tunjangan
Tidak bisa meningkatkan kualitas/kinerja sesuai harapan, sebab yang dituju hanya tunjangan. Setelah tunjangan turun kembali semula (kinerjanya). Jadi gaji tidak mempengaruhi kinerja secara signifikan. Semua itu tergantung personnya. Kalau peningkatan kesejahteraan jelas, tinggal bagaimana peningkatan produk guru yang dibenahi, seperti PTN favorit yang berhak mencetak guru.

Moh. Ngafenan (alumni Bahasa Indonesia FKIP UNS82): Rekayasa pemberkasan
Saya tidak yakin karena ada rekayasa dalam pemberkasan. Profesionalisme tidak diukur dari banyaknya sttpl yang dimiliki. Guru yang baik harus memiliki profesionalisme pedagogik, sosial, dll.

Rissa: Prosesnya curang
Untuk kesejahteraan guru jelas YA, makanya aku menolak menjadi Pengawas Sekolah, walaupun aku naik jabatan, tapi secara materi malah turun, dan ini yang membuat aku stress, karena saat ini aku dalam proses naik pangkat ke IVB. Sementara Dindik ngotot aku harus menjadi pengawas. Kalau dampak sertifikasi terhadap mutu guru TIDAK SIGNIFIKAN DAN JAUH DARI HARAPAN, karena prosesnya saja banyak yang curang, bukti fisik administrasi banyak yang dimanipulasi, direkayasa dengan teknologi, padahal saat ini PNS yang paling sejahtera adalah guru SMP dan SMA, banyak pendapatan di luar gaji, sumbernya dari uang BP3.

KESIMPULAN: Secara umum teman-teman kita melihat program sertifikasi guru lebih banyak menyentuh aspek kesejahteraan guru daripada peningkatan kualitas/kinerjanya. Meskipun secara normatif seorang guru memang dituntut tampil secara profesional dan selalu meng-up date pengetahuannya, efektivitas program sertifikasi guru diragukan dapat memacu profesionalisme guru, karena dalam prosesnya membuka celah besar terjadinya penyimpangan dan rekayasa. Selain itu, ada kekuatiran muncul dampak negatif dari guru-guru yang tidak lolos sertifikasi. Karena itu diusulkan jalan keluar yang lebih fair: Uji Kompetensi! (Tono S)
- See more at: http://ikabela.blogspot.com/2007/11/pro-kontra-sertifikasi-guru.html#sthash.dfcK67Cv.dpuf